views
Hadapi tantangan label pangan di Indonesia! Pelajari bagaimana informasi yang jelas dan akurat dapat mencegah ledakan diabetes dan obesitas. Temukan solusi untuk meningkatkan kesadaran konsumen dan mendorong pola makan sehat.
Siasat Pemerintah dalam Mengendalikan Penyakit Tidak Menular Lewat Label Pangan: Tantangan dan Harapan
Pemerintah telah berupaya menekan kasus penyakit tidak menular melalui pelabelan pangan, namun keefektifannya masih belum maksimal. Rendahnya literasi masyarakat dalam membaca informasi nilai gizi sebelum membeli produk menjadi salah satu kendala utama.
Hanya 6,7% konsumen di Indonesia yang memperhatikan label makanan kemasan, menurut catatan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Upaya baru pun dilakukan dengan mengadopsi sistem pelabelan ala Singapura, NutriGrade, untuk pangan olahan dan siap saji.
Wacana tentang label pangan sehat, seperti Nutri-Grade dan warning label, semakin relevan mengingat konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang tinggi. Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat prevalensi diabetes sebesar 11,7% pada usia lebih dari 15 tahun berdasarkan pemeriksaan gula darah, jauh di atas angka yang terdiagnosis resmi (1,7%). Artinya, banyak kasus tanpa terdeteksi.
Indonesia kini menempati peringkat kelima dunia dengan 19,5 juta kasus diabetes dan diperkirakan akan naik menjadi 28,6 juta pada tahun 2045. Selain itu, obesitas meningkat dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir, sementara konsumsi natrium masyarakat melebihi rekomendasi WHO.
Menurut pakar kebijakan kesehatan global Dicky Budiman, pelabelan seperti Nutri-Grade yang sudah diterapkan di Singapura, Taiwan, dan sebagian wilayah Tiongkok didukung oleh basis ilmiah yang kuat untuk membantu konsumen memilih makanan sehat. Label ini mengkategorikan produk dari A (terbaik) hingga D (paling tinggi GGL).
Namun, efektivitasnya tergantung pada tingkat literasi kesehatan masyarakat. Tanpa edukasi yang memadai, label bisa disalahartikan atau diabaikan. Posisi label yang jelas di bagian depan kemasan sangat krusial agar informasi mudah terlihat jelas.
Dicky juga mengingatkan perlunya standar nasional yang independen dan pengawasan ketat guna mencegah manipulasi label oleh produsen. Alternatif yang dianggap lebih efektif adalah penerapan warning label yang memberi peringatan langsung terhadap produk tinggi gula, garam, dan lemak, terbukti efektif di negara seperti Chili dan Meksiko.
Tantangan terbesar adalah resistensi industri makanan yang takut penurunan penjualan dan stigma negatif, tetapi insentif pemerintah untuk reformulasi produk dapat menjadi solusi.
Tak kalah penting, harmonisasi regulasi pangan di tingkat ASEAN diperlukan agar tidak terjadi konflik perdagangan lintas negara, apalagi banyak produk impor masuk tanpa standar label Indonesia, mengancam perlindungan konsumen dan kedaulatan pangan.
Kasus 'Pilihan Lebih Sehat' dan Proyeksi Labelisasi Gizi
Logo 'Pilihan Lebih Sehat' di Indonesia saat ini kerap menyesatkan konsumen karena batasan gula yang longgar. Contohnya, susu cokelat kemasan 180 ml mengandung 11 gram gula, jauh melebihi batas aman 6 gram per 100 ml menurut standar WHO. Artinya, satu botol kecil sudah memberikan lebih dari 20% kebutuhan gula harian.
Produk dengan logo ini tak jarang memiliki kandungan gula dan kalori nyaris sama dengan yang tidak berlogo, melemahkan tujuan edukasi konsumen. Ambang batas yang terlalu toleran gagal menyediakan informasi yang jelas dan mudah dimengerti.
Untuk mengatasi hal ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berencana mengadopsi pelabelan gizi depan kemasan (Front of Pack Nutrition Labelling / FOPNL) menggunakan sistem kode warna serta huruf A hingga D, yang dikenal sebagai Nutri-Level. Produk dengan kandungan GGL rendah diberi label hijau tua (A), sedangkan produk tinggi GGL diberi label merah (D).
Penerapan akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari minuman siap konsumsi, lalu meluas ke pangan olahan maupun siap saji dengan dukungan Kementerian Kesehatan.
Sistem Warning Label Sedang Didiskusikan
Kementerian Kesehatan tengah membahas penerapan warning label yang memberikan tanda peringatan khusus pada produk tinggi gula, garam, dan lemak. Meski studi efektivitas telah dilakukan, tantangan utama adalah memastikan masyarakat memahami sistem label tersebut.
Survei lanjutan dan sosialisasi mendalam menjadi bagian dari strategi tersebut, bersama Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang sedang disusun.
Apa Dampaknya pada Generasi Mendatang?
Kisah nyata seperti balita Muhammad Kenzi Alfaro, yang berusia 16 bulan dengan berat 27 kg, menjadi peringatan keras. Konsumsi susu formula beralih ke kental manis tinggi gula karena alasan ekonomi, berdampak buruk pada kesehatan dan perkembangan anak.
Kasus ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan pelabelan pangan yang jelas dan edukasi yang efektif agar masyarakat bisa mengambil keputusan konsumsi berdasarkan informasi transparan dan bertanggung jawab.
Panggilan untuk Kolaborasi
Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat diharapkan bekerja bersama memperkuat pengawasan, memperbaiki standar pelabelan, dan mengedukasi publik. Ini bukan sekadar kebijakan bisnis, melainkan investasi kesehatan jangka panjang untuk generasi selanjutnya.
Comments
0 comment