15
views
views
Saya sering menjadi sasaran bully di media sosial karena mengkritik praktik naturalisasi pemain sepak bola di Indonesia. Sebenarnya, saya tidak terlalu terpengaruh oleh hal itu. Pro-kontra dan bully-membully di era media sosial ini bisa terjadi pada siapa saja. Namun, saya terkejut melihat betapa marahnya orang-orang terhadap kritik saya. Hasrat yang mendalam untuk melihat tim nasional Indonesia berprestasi di pentas internasional membuat mereka tidak rela ada yang mempertanyakan langkah-langkah yang dianggap dapat meningkatkan prestasi tim.
Sepak bola telah menjadi bagian penting dari peradaban global, dan banyak yang percaya bahwa segala cara harus dilakukan untuk mencapai kejayaan, termasuk merekrut pemain internasional yang memiliki darah Indonesia untuk dinaturalisasi. Ketua PSSI, Erick Thohir, memanfaatkan regulasi FIFA untuk melakukan proses ini. Namun, saya tetap berpendapat bahwa cara instan seperti ini tidak dapat diterima.
Saya percaya bahwa lebih baik jika kita fokus pada pengembangan bakat muda dari seluruh pelosok negeri, mempersiapkan mereka untuk menjadi pemain hebat di masa depan. Meskipun pandangan ini mungkin terdengar idealis, saya merasa penting untuk mendiskusikannya. Dalam sebuah perbincangan hangat dengan sahabat lama, Nirwan Bakrie, dan Menpora R.I. Dito Ariotedjo, saya mendapatkan perspektif baru. Nirwan, yang telah lama berkontribusi pada sepak bola Indonesia, berpendapat bahwa naturalisasi adalah langkah logis untuk meningkatkan prestasi saat ini. Ia mengakui idealisme saya, tetapi menjelaskan bahwa realitas yang dihadapi jauh dari harapan.
Kondisi sepak bola Indonesia saat ini menyulitkan kita untuk menemukan pemain berbakat secara berkelanjutan. Meskipun pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembinaan olahraga, banyak yang tidak sampai ke PSSI dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik. PSSI telah lama mandiri dalam membiayai aktivitasnya, termasuk pengembangan talenta baru. Sayangnya, politik anggaran tidak memprioritaskan olahraga, dan lebih banyak dana dialokasikan untuk acara internasional yang berdampak ekonomi tinggi.
Pembinaan atlet tidak hanya tanggung jawab Kemenpora, tetapi juga harus dimulai dari institusi pendidikan. Sayangnya, kebijakan pemerintah saat ini lebih fokus pada olahraga dengan potensi prestasi jangka pendek, mengabaikan pembinaan jangka panjang. Kita juga perlu memastikan bahwa lapangan dan sarana pelatihan tersedia, bukan hanya untuk kepentingan pengembang properti.
Kehadiran pemerintah di stadion saat pertandingan tim nasional memang penting, tetapi kita memerlukan dukungan yang lebih dari itu. Pemerintah harus memastikan kompetisi berjalan lancar dan aman, serta kesejahteraan para pelaku sepak bola terjamin. Jika tidak, "para penguasa dunia gelap" akan mengambil alih, dan pemain muda berbakat akan terpinggirkan.
Ada harapan dari anak-anak dan cucu warga Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan di negara dengan peradaban sepak bola yang lebih maju. Mereka bisa kembali dan memperkuat tim nasional. Dari semua penjelasan ini, saya memahami bahwa naturalisasi adalah langkah logis untuk meningkatkan prestasi tim nasional, sekaligus menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sepak bola kita.
**Surat Menpora untuk Peter F. Gontha**
Yang Terhormat Pak Peter F. Gontha,
Terima kasih atas tulisan Bapak mengenai sepak bola. Kami menghargai perhatian dan dedikasi Bapak terhadap isu ini, serta pemikiran kritis yang Bapak sampaikan. Izinkan kami memberikan beberapa tanggapan untuk diskusi lebih lanjut.
Pertama, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap pembinaan olahraga, termasuk sepak bola, yang tercermin dalam alokasi anggaran dan kebijakan strategis. Pembinaan atlet muda menjadi fokus dalam beberapa Permenpora dan Instruksi Presiden. Kebijakan naturalisasi bukan pengganti pembinaan, melainkan strategi komplementer untuk meningkatkan daya saing tim nasional dalam jangka pendek. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada dana khusus untuk proses naturalisasi; Kemenpora hanya mengalokasikan dana untuk riset potensi atlet diaspora.
Kedua, terkait klaim bahwa anggaran "tersesat," kami perlu meluruskan bahwa dana pembinaan olahraga dialokasikan langsung kepada cabang olahraga terkait, termasuk sepak bola, dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel. Tentu, mekanisme ini masih dapat diperbaiki agar lebih tepat sasaran.
Ketiga, kami sepakat bahwa pembinaan adalah solusi utama untuk masa depan sepak bola yang berkelanjutan. Seperti menanam pohon, hasil dari pembinaan tidak instan, melainkan membutuhkan waktu dan kesabaran. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersinergi dalam proses pembinaan, dari level akar rumput hingga profesional.
Kami menghargai pandangan dan masukan Bapak, dan berharap dapat terus berdiskusi untuk mencari solusi terbaik bagi kemajuan sepak
Sepak bola telah menjadi bagian penting dari peradaban global, dan banyak yang percaya bahwa segala cara harus dilakukan untuk mencapai kejayaan, termasuk merekrut pemain internasional yang memiliki darah Indonesia untuk dinaturalisasi. Ketua PSSI, Erick Thohir, memanfaatkan regulasi FIFA untuk melakukan proses ini. Namun, saya tetap berpendapat bahwa cara instan seperti ini tidak dapat diterima.
Saya percaya bahwa lebih baik jika kita fokus pada pengembangan bakat muda dari seluruh pelosok negeri, mempersiapkan mereka untuk menjadi pemain hebat di masa depan. Meskipun pandangan ini mungkin terdengar idealis, saya merasa penting untuk mendiskusikannya. Dalam sebuah perbincangan hangat dengan sahabat lama, Nirwan Bakrie, dan Menpora R.I. Dito Ariotedjo, saya mendapatkan perspektif baru. Nirwan, yang telah lama berkontribusi pada sepak bola Indonesia, berpendapat bahwa naturalisasi adalah langkah logis untuk meningkatkan prestasi saat ini. Ia mengakui idealisme saya, tetapi menjelaskan bahwa realitas yang dihadapi jauh dari harapan.
Kondisi sepak bola Indonesia saat ini menyulitkan kita untuk menemukan pemain berbakat secara berkelanjutan. Meskipun pemerintah menganggarkan dana besar untuk pembinaan olahraga, banyak yang tidak sampai ke PSSI dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik. PSSI telah lama mandiri dalam membiayai aktivitasnya, termasuk pengembangan talenta baru. Sayangnya, politik anggaran tidak memprioritaskan olahraga, dan lebih banyak dana dialokasikan untuk acara internasional yang berdampak ekonomi tinggi.
Pembinaan atlet tidak hanya tanggung jawab Kemenpora, tetapi juga harus dimulai dari institusi pendidikan. Sayangnya, kebijakan pemerintah saat ini lebih fokus pada olahraga dengan potensi prestasi jangka pendek, mengabaikan pembinaan jangka panjang. Kita juga perlu memastikan bahwa lapangan dan sarana pelatihan tersedia, bukan hanya untuk kepentingan pengembang properti.
Kehadiran pemerintah di stadion saat pertandingan tim nasional memang penting, tetapi kita memerlukan dukungan yang lebih dari itu. Pemerintah harus memastikan kompetisi berjalan lancar dan aman, serta kesejahteraan para pelaku sepak bola terjamin. Jika tidak, "para penguasa dunia gelap" akan mengambil alih, dan pemain muda berbakat akan terpinggirkan.
Ada harapan dari anak-anak dan cucu warga Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan di negara dengan peradaban sepak bola yang lebih maju. Mereka bisa kembali dan memperkuat tim nasional. Dari semua penjelasan ini, saya memahami bahwa naturalisasi adalah langkah logis untuk meningkatkan prestasi tim nasional, sekaligus menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sepak bola kita.
**Surat Menpora untuk Peter F. Gontha**
Yang Terhormat Pak Peter F. Gontha,
Terima kasih atas tulisan Bapak mengenai sepak bola. Kami menghargai perhatian dan dedikasi Bapak terhadap isu ini, serta pemikiran kritis yang Bapak sampaikan. Izinkan kami memberikan beberapa tanggapan untuk diskusi lebih lanjut.
Pertama, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap pembinaan olahraga, termasuk sepak bola, yang tercermin dalam alokasi anggaran dan kebijakan strategis. Pembinaan atlet muda menjadi fokus dalam beberapa Permenpora dan Instruksi Presiden. Kebijakan naturalisasi bukan pengganti pembinaan, melainkan strategi komplementer untuk meningkatkan daya saing tim nasional dalam jangka pendek. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada dana khusus untuk proses naturalisasi; Kemenpora hanya mengalokasikan dana untuk riset potensi atlet diaspora.
Kedua, terkait klaim bahwa anggaran "tersesat," kami perlu meluruskan bahwa dana pembinaan olahraga dialokasikan langsung kepada cabang olahraga terkait, termasuk sepak bola, dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel. Tentu, mekanisme ini masih dapat diperbaiki agar lebih tepat sasaran.
Ketiga, kami sepakat bahwa pembinaan adalah solusi utama untuk masa depan sepak bola yang berkelanjutan. Seperti menanam pohon, hasil dari pembinaan tidak instan, melainkan membutuhkan waktu dan kesabaran. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersinergi dalam proses pembinaan, dari level akar rumput hingga profesional.
Kami menghargai pandangan dan masukan Bapak, dan berharap dapat terus berdiskusi untuk mencari solusi terbaik bagi kemajuan sepak
Comments
0 comment