Jikalau dialihbahasakan ungkapan “Togu urat ni bulu toguan urat ni padang, togu nidok ni uhum toguan nidok ni padan.” Artinya: “Teguh akar bambu, lebih teguh akar padang. Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji, sumpah.” Di sejarah tradisi masyarakat Batak, khususnya Toba, kakek moyangnya sering membuat ikrar yang dalam bahasa Batak disebut padan. Padan pembuatan ikrar, menyangkut kesepakatan bersama. Ritmenya, tak asal dibuat “padan” tetapi menggelar semacam ritual doa, martonggo.
Membuat ritual padan itu disebut marpadan. Martonggo adalah doa bersama orang yang sepakat untuk mendoakan yang disepakati. Di sana ada pengakuan bersama, sebagai syarat dan sahnya ikrar yang berkhidmat di hadapan Tuhan. Ikrar sama juga bersepakat: sama-sama menyetujui; bersetuju atau bermufakat membuat janji. Jadi, tak ada sepakat yang sah apabila kesepakatan itu dibuat satu fihak saja, pasti dibuat dua pihak. “Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang sepakat, sebagai pernyataan kehendak yang disetujui.”
Umumnya yang membuat persepakatan itu, antara satu marga dengan marga yang lain. Biasanya, ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antar satu kelompok keluarga dengan kelompok keluarga lainnya yang berbeda marga. Misalnya: marga Manullang marpadan dengan Panjaitan, marga Simamora Debataraja dengan marga Lumban Gaol, Sitorus Pane marpadan dengan Nababan, Sihotang marpadan dengan Toga Marbun (Lumban Batu, Banjar Nahor, Lumban Gaol).
Umumnya, ikrar atau padan itu menyangkut tak boleh saling kawin-mawin, walau berbeda marga. Tentu saja, jika ditelisik lebih dalam pasti setiap ada kesepakan “padan” oleh karena hubungan batin yang terbangun, saling menolong atau berhutang nyawa. Dan, mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan isi ritus padan itu kepada keturunan masing-masing. Hal ini terus digengung-dengungkan setiap generasi. Sampai sekarang kesepakatan ini masih terjaga dengan kokoh, agar tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia hingga hayat anak-cucu.
Padan, aturan yang tegas dalam budaya Batak yang satu marga tak boleh menikah (di Mandailing sekarang semarga bisa menikah asal tak ada lagi hubungan sampai generasi ke-13). Di Toba sampai saat ini masih terjaga, walau ada juga beberapa kasus semarga menikah, tetapi biasanya yang berani melakukan itu menerima sanksi sosial, terusir dari adat dan kampung halaman. Jika kasus itu di kampung halaman, maka mereka yang melakukan itu akan diusir. Maksud utamanya jelas, tidak boleh menikah dengan semarga. Marpadan berarti yang berbeda marga mengikat persaudaraan, setara menjadi semarga walau masing-masing tak meninggalkan atau meniadakan marga, tetapi menerima padan setara dengan menjadikan semarga.
Budaya yang sudah tertata lama, berbeda marga boleh menikah, tetapi jika sudah ada padan sama kuatnya perjanjian semarga, sedarah. Ikrar itu dibuat agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap satu keluarga, dongan sabutuha atau saudara seperut. Konsekuensinya bahwa setiap pihak yang berikrar itu wajib menganggap putra dan putri saudara, teman seikrar sebagai putra dan putrinya sendiri. Saking ketatnya ikrar tersebut terkadang ikatan itu dianggap lebih dari ikatan keluarga. Itu sebabnya ada perumpamaan Batak mengatakan, sebagai judul di atas. Karenanya, padan harus dijaga diantara kedua belah pihak. Artinya, parpadanan, perjanjian itu jauh lebih kuat dari hukum tertulis, sebab dibuat dengan janji yang sungguh-sungguh dari batin, tertulis di lubuk jiwanya.
Begitu kokohnya kedalaman memahami padan, hingga disebut walau kuat daya ikat hukum kuat, tetapi lebih kuat padan yang mengikat. Dalam ungkapan filosofi ini, padan dibandingkan dengan hukum positif. Begitu nenek-moyang berjanji dianggap kuat dan mengikat, bukan saja yang membuat kesepakatan tetapi keturunannya. Maka janji dibuat dan diucapkan oleh manusia sebagai gambaran dari eksistensi manusia Batak. Maka, padan dalam hal ini memiliki peranan yang sangat besar dalam budaya Batak Toba. Ketika orang atau sekelompok orang membuat padan, mereka harus menaati itu sampai mereka meninggal.
Lagi, padan menjadi satu pernyataan yang menggambarkan bahwa bagi orang Batak, ada satu entitas yang lebih kuat dari hukum positif. Kita tahu hukum merupakan aturan bersama yang dibentuk untuk mengatur masyarakat demi kesejahteraan bersama. Ketika hukum dilanggar, akan ada sanksi yang mengikuti. Namun, kekuatan hukum tak sampai menyentuh eksistensi dan esensi. Sementara padan, bagi orang Batak mengikat keseluruhan eksistensinya sebagai manusia Batak.
Berarti, melanggar padan sama dengan meniadakan eksistensi dan esensi diri sendiri. Hanya saja, sekarang ini nilai esensi dari padan tak begitu dihormati lagi. Barangkali ini terjadi karena lunturnya nilai, kearifan budaya yang terus tergerus. Itu sebab, menghormati leluhur harus disadari sebagai kegiatan yang berlandaskan spirit nenek moyang, mengakui padan yang dibuatnya. Karenanya, padan kakek moyang menjadi hal yang sangat penting, tidak boleh dilanggar apalagi diremehkan. Manusia Batak sejati merasuk nilai budaya mendalam di batin. Adat sebagai tata krama hidup dijalankan sebagai pusaka hidup.
Pendek kata, padan mesti dihormati, agar tak termasuk orang yang menganggap remeh sumpah yang tak bertulis, sebab kenyataan di kehidupan amat banyak orang yang melupakan janji “padan.” Jangankan itu, kesepakatan secara tertulis pun masih saja dilanggar. Ada semacam keputusan tegas, seperti final tak bisa diubah. Tetapi, yang namanya budaya tentu tak boleh statis, tetapi mesti dinamis, bisa dikoreksi untuk memperbaiki. Artinya padan sebisa-bisa keturunan dapat dijalankan, namun bisa diubah asal terlebih dahulu dirundingkan bersama.
Sebab padan mengajarkan kepada kita realisasi dari janji, dengan demikian harus tetap setia pada kata yang diucapkan. Apalagi kata itu menyangkut ikrar diucapkan kepada orang lain, marpadan mesti dihormati sebagi tata laku hidup. Di jaman dulu “marpadan” mengandung magis, itu sebab yang melanggar dianggap akan mendapat malapetaka. Tetapi, sekarang ini barangkalai bukan karena magisnya tetapi etika dan kesantunan, bagaimana menjaga integritas diri “Yang disepakati tidak dilanggar.” Yang dikatakan dilakukan.
Bagi yang melanggar janji “sumpah setia” akan mendapat ganjarannya, intimidasi mental bagi yang melanggarnya.
Sebaliknya, jika memenuhi janjinya, disamping manfaat nyata baginya. Lagi, melanggar padan bagi orang Batak bukan saja pantang tetapi haram. Jika dari penjelasan di atas, maka tidak diperkenan bagi kita untuk seenaknya membuat “sumpah” melanggarnya.
Ungkapan filosofi itu kemudian dipakai pemuda-pemudi mengikat janji. Sebenarnya masih menyambung, “Dengke ni Sabulan tutonggina tu tabona, manang ise siose padan turipurna tu magona.” Siapa yang ingkar akan janjinya akan mendapat ganjarannya. Artinya, berjanji mesti ditepati dan melanggar berarti berdosa. Memang tak mudah menjaga padan. Inilah kenyataan, kata-kata janji ringan diucapkan, namun berat untuk ditunaikan.
*Penulis : Hojot Marluga adalah seorang jurnalis, dulu menjadi redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan buku-buku memoar; otobiografi dan biografi.
hitabatak.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya serta event atau kegiatan yang perlu dipublikasikan. Tulisan hendaknya orisinal dan disertai dengan foto serta data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 600-1.500 karakter. Tulisan dapat dikirim ke redaksi [email protected] atau ke nomor 0822-7623-2237. Horas!