Songon Sorha Ni Padati Do Ngoluon

Sorha bahasa Batak, roda, tepatnya penggerak pedati. Penarik pedati adalah kerbau. Bagi orang Batak khususnya Toba menyebut kerbau disebut juga gajah Batak, hewan ini istimewa sebab sejak zaman dahulu amat sangat banyak membantu kehidupan nenek-moyang Batak. Kerbau digunakan, selain dagingnya dikonsumsi, dan untuk medium ritual adat. Tubuh luar kerbau seperti tulang, tanduk dan kulit juga dimanfaatkan. Tanduk kerbau misalnya, ditarok di atas sotoh rumah-rumah Batak. Kerbau, horbo dalam bahasa Batak. Dalam kehidupan sosial orang Batak mengandung banyak makna.

Di perkampungan Batak, rumah-rumah Batak yang tinggi itu, di bawah rumah jadi tempat kerbau, dan tanduk yang dipampangkan menandakan bahwa pemilik rumah telah menggelar acara adat. Bisa menandakan keluarga tersebut baru menggelar adat, orangtuanya “saurmatua” dan itu mengandung nilai yang sakral. Maradat dalam kehidupan sosial orang Batak mengandung makna mendalam. Mengenal seseorang bukan hanya dari gaya bicaranya saja, tetapi prinsip hidup yang dijalankan. Tahan untuk mengalami keadaan sulit. Itu sebabnya ada ungkapan, siap menderita dan siap juga saat mengalami kelimpahan.

Kerbau, sebelum dijadikan medium dalam acara adat, di sembelih untuk ritual adat, kerbau juga digunakan membajak sawah, selain itu juga dijadikan alat trasportasi. Dulu, selain kuda yang ditunggangi para raja, pedati merupakan alat transportasi angkutan barang, dengan tenaga kerbau. Maka, makna dalam ungkapan di atas menyebut, hidup ini ibarat roda pedati. Mesti cerdas dipahami, tak boleh leterlet dipahami. Maksudnya kehidupan fluktuatif, naik turun, surut dan pasang. Lebih menyiratkan bagaimana memikul tanggung-jawab.

Tanggung jawab bisa disamakan dengan beban. Selagi hidup beban hidup tak pernah lepas di pundak. Selagi roda berputar, beban selalu terbawa di atas pedati. Maka ada istilah Batak “padati siboan boban.” Beban yang ada di pedati adalah barang yang berat. Kata lain, beban yang berat mesti ditanggung, dipikul. Dalam konteks jika tak bertanggung jawab beban dianggap memberatkan, konotasi jadi negatif, perlu disingkirkan. Beban jadi bermakna positif jika itu memotivasi untuk berdedikasi, kesulitan dipikul sebagai tanggung jawab.

Ada lagu Batak yang menggambarkan hal itu: Songon sorha ni padati do/ Sudena na adong ditanoon/ Ai soadong na hot di tano on/ Sai muba do sudena na adong/ Ida bunga-bungai, mangerbang manogot/ Ambolong botarinai/ Soadong na hot tontong/ Sai muba do sude, Ai soadong ture/ Pasabam ma roham, asa sonang roham. Kira-kira jika diterjemahkan adalah: seperti roda pedati kehidupan di atas tanah ini, sebab tak ada yang bertahan di jagat ini. Mari kita lihat bunga-bunga, pagi masih berbunga sore sudah layu. Tak ada hidup terus-menerus, semuanya sudah pasti berubah. Tak ada yang sempurna.

Oleh karena itu, kita harus menyenangkan hati agar kita jangan gusar menghadapi keadaan apa pun. Lebih dalam lagi, memang tak ada kehidupan yang sempurna. Semua yang kelihatan nantinya akan lenyap. Perumpamaan berputar bagai roda pedati. Tentu, tak hanya dalam ungkapan Batak kita bisa menemukan pengertian seperti itu. Juga bisa dijumpai dalam beberapa ungkapan entitas suku di Indonesia. Hidup diartikan berputar seperti roda pedati. Kadang posisi di atas, kadang posisi bawah.

Baca Juga  Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto Kagumi Budaya Batak dan Literasi Batak Sangat Luar Biasa

Filosofi, sorha ni padati berarti harus menyadari bahwa posisi kita pada sikap bekerja keras, berusaha maksimal. Manakala tak berhasil usaha yang sudah dilakukan, kita tak boleh putus asa. Kembali berjuang, berusaha untuk kembali mengusahakan hal yang terbaik. Berusaha dengan maksimal. Tak perlu ngotot apalagi ambisius. Moralnya, untuk setiap orang Batak, saat berusaha sebagai generasi pengubah, orang yang diharapkan membawa roda keluarga untuk memutar roda kehidupan ekonomi keluarga, kita mesti berusaha terus memutar roda itu untuk bisa terus bergerak.

Berusaha maksimal pasti memdapat pembaikan hidup. Para motivator juga selalu meneriakkan agar jangan membatasi mimpi diri sendiri. Cita-cita tak hanya di angan-angan. Bercita-cita harus selalu berusaha lebih tinggi. Meskipun prinsip roda pedati ini bisa mengekang mimpi, namun prinsip ini tentu bukan buatan orang-orang yang tak bijak. Untuk itu marilah kita belaku bijak! Filosofinya, saat kita berada di atas, besok akan berada di bawah. Alih-alih bagai roda pedati, sekali ke bawah sekali ke atas. Kadang nyaman kadang tak mengenakkan. Sekali ke atas, sekali ke bawah, hidup yang selalu berubah.

Tentu, bagaimana memahami kedalaman ungkapan tersebut, bukan untuk melegalitaskan menerima nasib apa adanya, apalagi menerima kemalasan bahwa nasib tak bisa dirubah. Nasib bisa dirubah asal kita berusaha maksimal mengubahnya. Sebab kitalah yang mengubah nasib kita sendiri. Sekali pun malaikat berkata untuk mengubah nasib kita, jika kita tak mengubah nasib kita dengan pola pikir dan tindakan yang benar, maka tak akan terjadi perubahan nasib. Nasib kita di tangan kita.

Sudah tentu, yang harus dipahami bahwa manusia diberikan Tuhan kebebasan menentukan dan mengendalikan nasibnya sendiri. Manusia mesti memahami bahwa yang menentukan nasibnya adalah dirinya sendiri. Terkadang, ungkapan filosofis di atas banyak dipakai melegitimasi sikap malas. Dianggap keadaan yang diterima sekarang tak berubah lagi. Tak berubah kalau tidak dirubah sendiri. Membuat mereka tak kreatif, sama sekali berusaha dengan gigih. Sebenarnya yang hendak dikatakan bahwa memang banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika, apa yang sudah diusahakan terkadang tak terjadi seperti yang direncanakan. Disinilah perlu kerendahan hati untuk menerima kehendakNya. Manusia harus berusaha tetapi otoritas Tuhanlah yang menjadikan.

Roda pedati itu memang lambat berputar karena beban berat yang dipikulnya. Demikian juga, saat beban berat yang kita pikul berat, roda hidup harus dijalankan terus. Tak berhenti berusaha. Bukan malah menjadi peminta-minta. Bukan menanamkan mental dikasihani. Sebaliknya, menyadari bahwa kerja keras harus diusahakan. Bagaimana seseorang, atau masyarakat menggunakan kreatifitasnya untuk tetap bisa survive dalam menghadapi bencana atau kondisi sulit.

Baca Juga  Manat Unang Tartuktuk, Nanget Unang Tarrobung

Bahkan, mampu mengatasi dan menyadari ada hikmat dari setiap keadaan. Disini kita bukan menunggu roda berputar, walakin memutar roda itu agar terus bergerak melaju. Dengan bergerak berarti terus melaju menuju kemajuan. Sebagaimana Albert Einstein mengatakan, “Hidup seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang dan tidak jatuh, kita harus selalu bergerak.”

Hidup harus terus diayun. Sebagaimana pedati menarik rodanya, demikianlah di kehidupan kita move on dari setiap keadaan yang menjepit, menghalangi roda hidup berputar. Ilustrasi pedati disini merupakan sarana yang digunakan untuk membawa beban yang berat. Dengan cara tersebut, maka kita dapat menganalogikan ke kehidupan. Bahwa kehidupan kita tak mungkin bebas dari beban, karenanya harus terus berusaha. Maksudnya, kehidupan yang kita jalani bukan tanpa tanggung jawab, tetapi penuh tanggung jawab.

Orang yang kecenderungannya menghindari tanggung jawab biasanya tak akan bertumbuh lebih baik. Kita diberi akal dan kehendak. Sebagai makhluk rasional kita mesti bertanggung jawab. Walau bebas mengambil jalan apa saja, tetapi sepantasnya menjalani jalan yang penuh tanggung jawab. Berani memilih berani bertanggung jawab. Memilih jalan besar sudah tentu tanggung jawabnya juga besar. Kata, mutiara, kemampuan memikul tanggung jawab adalah pembeda seorang pemimpin dan seorang pengikut. . Itulah makna hidup seperti roda pedati.

Bagi orang Batak, ungkapan di atas walau sederhana, tetapi tak sesederhana kalimatnya. Ada kedalaman makna soal tanggung jawab di dalam kehidupan. Hidup mesti dijalani dengan penuh tanggung jawab. Kehidupan ini bukanlah soal nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan tantangan yang harus dilalui dengan penuh keberanian dan penuh tanggung jawab. Tiadanya tanggung jawab, itu kadang alasan tak mencapai tujuan, kurang komitmen. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia tetang tarap pemahaman kedewasaan. Hal itu sangat penting sekali di dalam kehidupan. Karena itu, hidup yang bertanggung jawab adalah hidup yang aktif, proaktif.

Ungkapan filosofi ini menyiratkan sebuah pengertian, memang tak sama persis, tapi paling tidak mewakili sebuah realita yang ada, bahwa hidup harus terus berputar bergerak. Hidup bergerak berarti memiliki tujuan yang jelas. Hidup yang tanpa tujuan, sama dengan hidup tanpa arah yang jelas. Berputar tanpa target. Sebaliknya, jika hanya memahami bahwa hidup persis seperti roda padati akan salah tafsir. Itulah kesalahpahaman pada perumpamaan ini. Bagi orang yang tidak punya tujuan dalam hidupnya, menyebut hidup seperti roda pedati. Orang melakoni perannya, tapi tidak tahu arah hidup.

Tatkala kita tidak bertindak lebih efektif, apalagi kita tak punya rencana, tak akan bisa menemukan kedalamannya tanpa tujuan hidup yang jelas. Mempertaruhkan hidup kita sendiri saat menjalani hidup ini tak menyadari bahwa roda hidup ini akan terus berputar. Lalu, apa makna menjalani hidup seperti roda pedati? Jelas, kehidupan ini kadang-kadang indah, kadang-kadang menyakitkan. Karena itu, apa pun yang kita rasakan, kita senantiasa berusaha senantiasa untuk berkhikmat. Esensi maknanya begitu mendalam. Hidup ini seperti roda pedati, artinya kehidupan ini tak stabil, tetapi dinamis bergerak.

Baca Juga  Ingkon Bengkuk Do Mata Ni Hail Asa Dapotan

Tentu, kita diberikan memainkan peran kita, sebab Tuhan memberi kebebasan bagi memilih. Memilih apa yang kita pilih. Sebab kehidupan ini bukan monoton tanpa perubahan. Sebab jikalau tak dinamis berarti manusia hanyalah boneka. Tak punya peran apa-apa di kehidupan. Memang hidup ini dikendalikan Tuhan. Kita diberi kebebasan berperan apa. Jika makna itu kita pahami, maka kita tak akan merasa takut di kehidupan. Hati akan selalu tenang dalam menjalani hidup.

Disinilah pentingnya usaha, kekuatan untuk terus bersabar dan bertekun. Senantiasa sabar menjalani roda di kehidupan. Karena kehidupan ini berputar dan bergerak terus. Kita sadari bahwa posisi kita di atas sekarang ini bisa saja besok tak lagi di atas. Kita bisa dalam posisi susah. Karena itu, berbahagialah kita jika filosofi Batak ini kita pahami dan hidupi dalam sanubari kita. Mampu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela. Tak merendahkan orang manakala kita di puncak.

Lagi-lagi, hidup memang seperti roda pedati yang tak berhenti berotasi. Waktu terus berjalan. Semuanya tak ada yang abadi, sebab yang berubah hanya perubahan. Tentu, jikalau filosofi ini tak dipahami mendalam, kita akan sesat pikir. Manakala seseorang pada posisi terjepit, titik jenuh akan mudah tergoncang oleh karena tak mengakar pada pondasi, menyadari hidup memang demikian. Selagi nyawa di kandung badan kesulitan itu selalu berotasi. Disinilah tentu perlu mengelola hati, mengelola sanubari.

Petuah Batak ini mengingatkan, agar hati-hati dengan hati. Oleh karena itu, orang yang pandai mengelola hati pasti meresapi ungkapan filosofis ini. Senantiasa menundukkan rasio di dalam pengharapan iman ketika berusaha di kehidupan. Tak jumawa jika berhasil, namun juga tak keder bila gagal. Jika tak sesuai harapan, yang sudah lama diperjuangkan, disikapi dengan berbesar hati. Antusias, optimis. Ada harapan memperbaiki hajat selama hayat. Mampu memetik hikmat dari setiap keadaan yang dialami.

*Penulis : Hojot Marluga adalah seorang jurnalis, dulu menjadi redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan buku-buku memoar; otobiografi dan biografi.


hitabatak.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya serta event atau kegiatan yang perlu dipublikasikan. Tulisan hendaknya orisinal dan disertai dengan foto serta data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 600-1.500 karakter. Tulisan dapat dikirim ke redaksi [email protected] atau ke nomor 0822-7623-2237. Horas!

Share