Adat adalah bagian dari budaya, yang beradaptasi sesuai interaksi dan respon kepada situasi internal dan sekitar para pelaku budaya tersebut. Adat yang tidak mampu beradaptasi, akan tinggal menjadi artefak, yang hanya indah romantis dalam kenangan nostalgik, diawetkan di museum – museum dan ingatan kolektif antar generasi. Tidak terkecuali adat Batak.
Masyarakat Batak adalah masyarakat adat. Masyarakat seremonial. Hampir seluruh siklus kehidupannya, mulai dari ada dalam kandungan – lahir – menikah – manjae – menikahkan anak – matua – meninggal – panakkok saring-saring, sarat dengan tradisi adat. Berbicara adat, maka intinya akan melibatkan horong dalihan na tolu, paopat sihal-sihal, dan adat suhi ni ampang na opat.
Esensi dan substansi adat yang dilaksanakan dewasa ini, baik di perkotaan maupun di pedesaan, sudah terlalu banyak dan sarat ditompangi dan dijerat asesories yang memberatkan secara ekonomi dan menyita waktu. Sumber daya dan dana yang terlalu banyak dihamburkan untuk aktivitas yang seremonial, malah telah menggeser, meminggirkan dan menggencet esensi filosofis makna suatu ritual atau tradisi adat. Adat telah bercampur bahkan didominasi oleh Pesta, festivy. Gumodang uram sian impolana.
Ambillah contoh proses pelaksanaan adat untuk menikah (hot ripe) marpesta unjuk.
Kalau kita mengikuti beberapa torsa (menggambarkan pola kehidupan ni akka oppunta dalam cerita zaman dahulu), dan beberapa tulisan dan pendapat, bahwa sesungguhnya pelaksanaan adat menikah itu tidak terlalu rundut (rumit). Mengingat pada zaman dahulu otoritas adat, pemerintahan dan spritualitas relatif berada pada masyarakat adat setempat, maka pengesahan dan legitimasi pernikahan cukup dengan pasu-pasu raja. Apabila keadaan sudah memungkinkan, pangoli menyampaikan boli (tuhor) ke orang tua parboru. Asa mamasu masu ma Ompunta Debata, manumpak ma tondi ni hula-hula, manuai sahala ni raja. Di na liat lolo hita di antaran na bidang, lobuan na tur. Liat ma pasu-pasu, riris ma panggabean, manggomgom jala manghorasi ma nang sumangot ni angka ompunta na parjoloi. Simpel. Sederhana.
Sekarang di zaman modern ini, jalur legitimasi untuk pembentukan rumah tangga ada tiga, yang saling melengkapi. Yaitu jalur adat, jalur agama (seperti pemberkatan atau akad nikah) dan jalur administrasi Pemerintahan (pencatatan sipil). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Namun dalam prakteknya, pelaksanaan upacara perkawinan ini menjadi sesuatu yang sangat rumit, costly yang menyita waktu, tenaga dan materi yang cukup dan sangat besar. Terkadang konsumtif demonstratif. Dan dalam beberapa case, malah berlebihan/ lebay sehingga menyimpang dari esensinya. Hal ini dalam pengamatan saya, adalah karena dicampur baurnya ketiga jalur di atas, ditambah satu jalur lagi yaitu jalur pesta. Seolah-olah melaksanakan adat adalah sama sebangun atau identik dengan berpesta.
Inilah praktek yang terjadi di kota-kota besar. Karena kota adalah kiblat desa, di desa pun, supaya terkesan up to date, malah ditambah-tambahi lagi. Kalau perlu, makan siang dalam suatu pesta unjuk bisa bergeser hingga jam 3 sore, hanya karena masing-masing horong, meminta manortor parumaen, untuk sekedar memancing sumbangan dari keluarga tutur sisolhot yang disasar.
Jalur adat pernikahan (khususnya adat adat batak toba) diawali dengan marhori-hori dinding, patua hata, marhusip-husip, martonggo raja dan kemudian dipasimpul (disempurnakan) dengan pesta adat di suatu gedung. Hampir untuk setiap tahapan tersebut, melibatkan beberapa keluarga., makan besar, memotong hewan (pinomat lomok-lomok), menyampaikan amplop dan salam tempel uang transport kepada raja parhata, ingot-ingot kepada situan na torop. Pertanyaannya, untuk apa semewah itu untuk kegiatan hanya – just pasada tahi ?. Kenapa harus memotong hewan lomok-lomok, menyediakan minuman botol (hard and soft drink), melewati beberapa tahapan pada hari yang berbeda. Belum lagi kerugian waktu, ongkos transportasi serta hilangnya quality of time dengan anak-anak.
Kemudian, ketika hari H telah tiba, akan diadakan pesta unjuk. Menyewa gedung, mempersiapkan makanan dan minuman, dan mengundang seluruh unsur keluarga, keluarga dari keluarga, duduk diam seharian, hanya untuk mendengar beberapa orang bersahut-sahutan bertukar kata dan pantun, mengulang pembicaraan yang sudah matang pada waktu marhusip. Sementara itu, mereka yang tidak merupakan horong yang sijalo parjambaran, atau bukan merupakan kerabat dekat, akan segera meninggalkan tempat, segera setelah makan siang dan pasahat tumpak.
Horong hula-hula, yang sampai empat lima derajat di masing-masing hasuhuton, juga akan tersandera duduk seharian atau hingga tiba giliran pasahat ulos. Dan begitu ulos telah disampaikan (biasanya diawali dengan mandok hata nauli na denggan, nasehat dan seterusnya), yang bisa berlangsung sampai sepuluh menit, akan dilanjutkan dengan rombongan yang baris berbaris, berjoget ria diiringi musik maumere, goyang melayu – boru batak – despacito – sekedar menyampirkan ulos kepada kedua pengantin. Yang manguloasi masih berdiri di depan, namun ulos itu segera diturunkan petugas boru, dilipat dan disimpan di goni di belakang pengantin, untuk ditimpa dengan giliran yang mangulosi lainnya. Saya tidak habis pikir – dan agak gagal paham. Inikah yang dimaksudkan dengan pasahat ulos ? Inikah kesakralan adat batak yang dicoba pertahankan itu ?
Pelaksanaan pesta unjuk yang full day, mendatangkan beberapa kerugian baik material dan immaterial. Satu hari produktif akan hilang. Biasanya acara unjuk adalah di hari Sabtu atau libur. Hampir semua hari Sabtu dan libur di Jakarta ini misalnya, sudah ditandai untuk pelaksanaan acara adat. Termasuk 17 Agustus, segera setelah upacara bendera di kantor kantor !!! Orang tua tersita waktunya dari memanfaatkan hari libur – quality of time – dengan anak-anaknya. Pengantin yang duduk seharian, diapit kemben ketat, menahan kencing, mulai dari jam 5 pagi sibuha-buhai, pemberkatan pagi hari, usai pesta jam 7 malam, dan bahkan hingga jam 9 malam (karena seusai pesta di gedung masih dilanjut dengan acara manjalo parumaen di rumah orang tua pengantin pria). I tell you, ini tidak sehat. Kwalitas bibit yang dihasilkan (kalau sekiranya sepulang handai taulan kedua mempelai melaksanakan ritual panggilan alam hubungan suami isteri) pun sudah exhausted. Lemah.
Di sisi lain, para kerabat yang datang di pesta pun harus menghabiskan seharian duduk tanpa peran jelas. Tidak lebih hanya untuk mendengarkan – apa yang diistilahkan dengan Raja Parhata dan Parsinabung – bersastra ria dengan suara monoton, menunjukkan kebolehan berpepatah petitih, yang berulang ulang dan sama dari suatu pesta ke pesta yang lain. Miskin improvement dan kreativitas. Inipun akan dapat mengundang lebih mudah penyakit pinggang dan ginjal. Duduk di atas 4 jam berbahaya untuk kesehatan. Belum lagi makan daging yang penuh kolesterol, ditingkahi bir dan asap rokok.
Pada hal, lingkungan pergaulan di perkotaan sudah berubah. Lingkungan sosial kita sudah berbeda. Selain menghadiri pesta unjuk, ada banyak relasi, kenalan, teman lintas profesi yang juga berpesta di hari Sabtu/ libur. Kita terkadang tidak dapat menghadiri undangan rekan lain suku, hanya karena tertawan dengan menghadiri adat kerabat sendiri, tanpa peran yang penting. Just parsidohot. Kawan dan kenalan kita dari suku-suku lain juga punya adat masing-masing. Tetapi mereka telah cukup cerdas dan adaptif dengan kemajuan zaman. Mereka dapat memisahkan ritual adat dengan pesta/ resepsi.
Kenapa kita tidak meniru atau menyesuaikan ritual adat kita dengan tantangan kemajuan zaman ?. Masyarakat batak di kota, tidak lagi hanya masyarakat agraris, homogen satu suku. Ada berbagai profesi. Ada yang pedagang, karyawan, pengasong, tambal ban, pegawai, wiraswasta, aparat, pejabat dan sebagainya. Mereka adalah pemangku kepentingan yang juga ingin aktif hadir di acara adat batak. Adat batak tidak hanya untuk kaum yang mapan. Juga untuk masyarakat marginal. Namun format acara adat batak saat ini tidak memberi ruang fleksibilitas untuk itu. Saudara kita yang secara ekonomi kurang beruntungpun harus dicecok bebani dengan biaya ekonomi pelaksanaan adat yang mahal. Kejam.
Untuk memperbaiki hal hal di atas, saya mengajukan dua gagasan, yang satu revolusioner, yang satu lagi evolusioner.
Pertama, adalah memisahkan pemenuhan prosesi adat dari acara gereja/ agama, dan pesta.
Untuk prosesi adat, agar dikembalikan ke substansinya saja. Tidak perlu itu marhori-hori dinding, patua hata, marhusip dan martonggo raja melibatkan non hasuhuton utama. Sesungguhnya, acara ini pada zaman dahulu diadakan, adalah karena teknologi informasi belum ada, sehingga perlu pasada tahi, agar tidak ada yang bentrok acara yang sahasuhuton. Wong sekarang sudah ada WA, twitter, FB dan Email. Itu harus dimanfaatkan. Pasahat sinamot, manggarar adat na gok, cukup dilaksanakan kedua hasuhuton utama, beserta unsur dalihan natolu derajat pertama. Seluruh acara ini, dapat dilaksanakan secara intern. Ini akan agak mirip dengan acara lamaran, midodareni dan siraman pada rekan kita dari suku Jawa misalnya.
Acara pemberkatan gereja dan catatan sipil cukup dilakukan secara internal saja. Agak mirip dengan yang dilakukan rekan kita pada saat pelaksanaan akad. Keluarga inti terdekat saja.
Saya mau sedikit bahas hal martumpol dan tingting parjolo maupun tingting paduahon. Esensi martumpol adalah menyatakan/ paandarhon kepada umum bahwa dua sejoli telah mengikat janji akan masuk ke jenjang pernikahan. Monggo kalau ada yang belum beres dengan pihak ketiga agar diselesaikan. Kemudian diumumkan (ditingtinghon) seusai ibadah gereja di dua hari minggu berturut-turut. Saya kira ini bukan doktrin gereja yang bersifat umum. Buktinya, model ini hanya ada pada beberapa aliran gereja di Indonesia. Denominasi aliran gereja yang sama di Eropah misalnya tidak mengenal martumpol dan tingting parjolo paduahon. Pada zaman modern ini, tahapan ini sudah tidak relevan. Wong pacaran saja sudah diumumkan dan diupload di medsos. Selain itu, juga pemborosan. Umumnya, beda pakaian pengantin untuk martumpol, beda untuk tarpasu-pasu. Pada hal hanya untuk satu kali pakai. Kenapa tidak menyewa saja, kalau harus pingin tampil beda ?. Konsumtif.
Acara pesta atau resepsi dapat dilakukan di siang, sore atau malam hari. Silakan diundang kerabat, handai tolan dan relasinya. Persis seperti yang rekan rekan suku lain lakukan. Pada acara pesta ini, dapat disampaikan 3 atau 4 lembar ulos sampai suhi ni ampang na opat. Tidak ada ceritanya harus semua mangulosi, atau harus maksimal 17 lembar. Juga tidak perlu diawali atau dibarengi dengan pepatah petitih. Itu sudah tuntas pada waktu manggarar sinamot na gok sebelumnya. Salah satu yang membuat mahal sewa gedung parpestaan adalah karena utilitasnya yang rendah. Umumnya hanya di hari libur. Dan hanya untuk pesta nikah. (Kita beruntung sudah ada preseden, belum lama ini acara pemberangkatan jenazahpun sudah dilaksanakan di gedung parpestaan. Yang dahulu dianggap pamali).
Kedua, kalau pendekatan pertama di atas ada yang menganggap terlalu ekstrim, atau malah tidak sesuai dengan adat batak, mari kita diskusikan. Mari kita seminarkan. Sementara menunggu ada yang mensponsori pelaksanaan seminar untuk itu, saya menganjurkan, apabila pelaksanaan ritual adat masih dicampur dengan acara gereja/ tarpasu-pasu, pesta unjuk, paulak une hingga manjalo parumaen, juga tetap dapat disederhanakan.
Caranya ?. Buatlah buku panduan. Silakan acara adat pun membaca buku panduan tersebut seperti responsoria. Kita tidak perlu Raja Hata/ Parsinabung lagi. Tidak ada yang salah dengan itu. Di gereja, pada saat tarpasu-pasu atau tata tertib beribadah setiap minggupun menggunakan buku agenda. So, kenapa dalam acara adat na gok tidak boleh sambil membaca buku ?. Inipun minimal akan menghemat waktu. Mudah-mudahan acara pesta adat kita cukup maksimal paling lama 3 jam.
Kita hidup di zaman modern, berinteraksi dengan berbagai suku, profesi dan golongan. Di zaman yang penuh persaingan ini, untuk mencapai dan mempertahankan keunggulan sumber daya manusia, kita harus adaptif, responsif dan inovatif. Tetap memegang esensi, namun hendaknya menghilangkan asesories non produktif yang tidak perlu. Termasuk untuk pelaksanaan rangkaian acara adat.
Horas tondi madingin. Merdeka
Kiriman : Sampe L. Purba – Penikmat adat na tur.