Jembatan Multikultural: Interaksi Sosial Antar Suku di Kalimantan Barat
Oleh Elsyi Fitriani
Tugu Khatulistiwa di Kalimantan Barat (Sumber Foto: Bappeda Kota Pontianak)
Tugu Khatulistiwa di Kalimantan Barat (Sumber Foto: Bappeda Kota Pontianak)

Pontianak merupakan salah satu kota yang dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa atau Kota Equator. Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 Masehi bertepatan dengan 14 Rajab 1185 Hijriah. Latar belakang dari berdirinya Kota Pontianak ini tidak terlepas dengan adanya kekayaan alam dan juga tradisi yang ada di Kota Pontianak.

Adanya Kota Pontianak bermula saat rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie sedang membuka lahan hutan di persimpangan tiga sungai yaitu Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas dengan tujuan mendirikan balai dan rumah sebagai tempat hunian, kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak (Abelio & Junaidi, 2021: 177).

Bermula dari pembukaan hutan dan kepemimpinan yang dilakukan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie tersebut, Kota Pontianak berkembang menjadi kota Perdagangan dan Pelabuhan. Pusat pemerintahan Kota Pontianak saat itu terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur.

Kota Pontianak terdiri dari berbagai suku di antaranya adalah, Suku Melayu, Dayak, dan Tionghoa dll. Ketiga suku tersebut merupakan suku bangsa dominan besar yang ada di Kota Pontianak, presentasenya melebihi 90 persen penduduk Kalimantan Barat.

Selain itu juga terdapat suku yang lainnya seperti Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lainnya dengan persentase di bawah 10 persen (sumber: Sejarah Berdirinya Prov. Kalimantan Barat). Suku Melayu, Dayak dan Tionghoa sebagai suku yang dominan yang terletak di Kota Pontianak tentu memiliki hubungan multikultural yang unik.

Setiap suku tersebut memiliki perayaan besar yang biasanya diikuti dan diramaikan oleh masyarakat Kota Pontianak. Suku Melayu memiliki perayaan atau acara besar Robo Robo, Dayak memiliki acara besar seperti Gawai Dayak, dan suku Tionghoa memiliki perayaan atau acara besar seperti Cap Go Meh.

Ilustrasi Acara Robo Robo di Kalimantan Barat. (Sumber Foto: Pemerintah Kota Pontianak)
Ilustrasi Acara Robo Robo di Kalimantan Barat. (Sumber Foto: Pemerintah Kota Pontianak)

Acara Robo-Robo merupakan upacara tolak bala yang dilakukan oleh masyarakat Melayu di Kalimantan Barat, khususnya di Kota Mempawah. Upacara ini digelar hari jatuhnya bulan Safar pekan terakhir pada bulan Safar, Hijriah.

Robo-Robo merupakan aset budaya Kabupaten Mempawah dan menjadi salah satu Warisan Budaya Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Pada artikel yang di terbitkan oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, upacara Robo-robo saat ini tidak hanya dilakukan oleh suku Melayu saja, namun dari suku lainnya yang ada di Kalimantan Barat juga ikut hadir dalam Robo Robo (sumber: Berita Acara Robo-robo di Kalimantan Barat).

Suku Melayu yang berada di Pontianak dan kota lainnya juga ikut serta dalam upacara Robo-Robo ini. Meski upacara ini hanya melibatkan suku Melayu yang beragama Islam namun Masyarakat suku lainnya juga ikut terlibat dalam melihat proses berjalannya upacara ini. Menikmati Robo-Robo dari kacamata tradisi dan adat istiadat Masyarakat yang ada di Kalimantan Barat.

Ilustrasi Gawai Dayak di Kalimantan Barat. (Sumber foto: Unsplash.com/Farizal Resat)
Ilustrasi Gawai Dayak di Kalimantan Barat. (Sumber foto: Unsplash.com/Farizal Resat)

Suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat memiliki tradisi dan perayaan besar juga yang disebut sebagai Gawai Dayak. Gawai Dayak merupakan pelaksanaan perayaan pasca panen yang di dalamnya terdapat serangkaian upacara adat sebagai bentuk rasa Syukur kepada Tuhan atas kelimpahan hasil panen.

Sebelum memasuki perayaan upacara Gawai Dayak, ada beberapa upacara lainnya yang dilakukan Suku Dayak, seperti upacara adat ngampar bide atau menggelar tikar. Upacara ini biasanya dilakukan di rumah Betang Panjang/Betang di Kalimantan Barat dengan tujuan memohon kelancaran dan kemudahan selama pelaksanaan perayaan Gawai Dayak (sumber: Artikel Warisan Budaya Kalimantan Barat) .

Upacara adat ini kemudian menjadi moment untuk bersosialisasi antar suku yang ada di Kalimantan Barat. Masyarakat di luar Suku Dayak bisa mengetahui bagaimana kebudayaan, pola hidup terhadap sesama Suku Dayak dengan ikut menyaksikan dan meramaikan upacara ada istiadat Suku Dayak di Kalimantan Barat.

Ilustrasi Perayaan Cap Go Meh. (Sumber: Unsplash.com/Lisanto)
Ilustrasi Perayaan Cap Go Meh. (Sumber: Unsplash.com/Lisanto)

Selain Suku Melayu dan Suku Dayak, di Kalimantan Barat juga memiliki suku Tionghoa yang memiliki perayaan besar yaitu Cap Go Meh. Cap Go Meh merupakan salah satu perayaan Imlek bagi Masyarakat Tionghoa. Perayaan Cap Go Meh terdiri dari berbagai kegiatan sebagai berikut:

Bersih Jalan

Kegiatan bersih jalan ini diikuti oleh tatung (orang yang dirasuki roh dewa atau roh leluhur), para tatung ini nantinya akan datang ke Klenteng dengan tujuan meminta izin pada Dewa Bumi Raya.

Pawai Lampion

Pawai lampion biasanya diadakan di hari ke-15 setelah Imlek. Pawai Imlek ini biasanya diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat mulai dari yang muda hingga yang tua, mulai dari siswa sampai pejabat.

Parade Tatung

Parade Tatung umumnya dilakukan pada hari ke-15 setelah Imlek. Parade Tatung merupakan parade yang ditunggu-tunggu oleh Masyarakat karena dilakukan dengan cara unik.

Parade ini mempertontonkan Para Tatung yang memasukkan benda tajam ke dalam mulut (Suprapto: 2019:3-4). Atraksi ekstrem ini menjadi momen yang membuat Masyarakat lain selain suku Tionghoa tertarik untuk menikmati dan ikut meramaikan acara Cap Go Meh ini.

Jembatan multikultural yang membuat hubungan suku Melayu, Dayak, dan Tionghoa saling berinteraksi dan bersosialisasi dalam jarak yang dekat membuat hubungan ketiga suku tersebut semakin erat dan saling menerima perbedaan masing-masing.

Perbedaan etnik ini tidak menjadi penghalang untuk saling berinteraksi, melakukan aktivitas, sehingga keberagaman ini menjadi sarana keterbukaan ruang obrolan atau diskusi yang menjadikan mereka saling menghargai perbedaan di tengah-tengah perbedaan budaya yang di miliki masing-masing suku.

Hubungan antar Suku Melayu, Dayak, dan Tionghoa ini salah satu contoh interaksi antar suku yang terlibat dalam perayaan adat masing-masing suku, yang di dalamnya terdapat penerimaan, keterbukaan, toleransi, serta respek.

Sebagai bangsa yang hidup dikelilingi dengan banyak budaya, adat, suku, agama dan bahasa, kita perlu terus mempromosikan dan mengiklankan keberagaman dan toleransi, agar terbiasa dengan perbedaan.

https://kumparan.com/elsyi-fitriani/jembatan-multikultural-interaksi-sosial-antar-suku-di-kalimantan-barat-21IOqAU76Im

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations