Dilematis Peternakan: Dampak Perubahan Iklim
Oleh Baharuddin Yusuf
Ilustrasi Industri Peternakan. Sumber: www.pexels.com
Ilustrasi Industri Peternakan. Sumber: www.pexels.com

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan pada tahun 2017 bahwa aktivitas manusia telah menjadi faktor utama dalam perubahan iklim sejak abad ke-19. Menurut penelitian William F. Lamb dan rekan pada tahun 2018 yang berjudul "A Review of Trends and Drivers of Greenhouse Gas Emissions by Sector from 1990 to 2018", emisi gas rumah kaca mencapai 58 gigaton CO2 setara, mencatat rekor tertinggi dalam sejarah manusia.

Sektor energi menjadi penyumbang terbesar (34%; 20 gigaton CO2e), diikuti oleh industri (24%; 14 gigaton CO2e), pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (21%; 12 gigaton CO2e), transportasi (14%; 8,3 gigaton CO2e), dan pengoperasian gedung (6%; 3,3 gigaton CO2e).

Dengan mempertimbangkan kontribusi sektor Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) sebesar sekitar 21% atau setara dengan 12 gigaton CO2e terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), terutama dalam konteks peternakan, penelitian Pierre Gerber dan rekan pada tahun 2013 dalam karya "Tackling Climate Change Through Livestock: A Global Assessment of Emissions and Mitigation Opportunities" menegaskan bahwa sektor peternakan membutuhkan sumber daya alam yang besar dan bertanggung jawab atas sekitar 14,5% dari total emisi GRK yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, setara dengan 7,1 Gigaton karbon dioksida. Namun, industri peternakan menghadapi berbagai tantangan global, termasuk pertumbuhan terus-menerus populasi global.

Dalam 12 tahun terakhir, populasi global telah mengalami peningkatan yang signifikan, melonjak dari sekitar 1 miliar jiwa menjadi hampir 7,6 miliar pada tahun 2017. Meskipun laju pertumbuhan ini sedikit melambat dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,24% dibandingkan dengan 1,10% per tahun, namun rata-rata penambahan penduduk tetap tinggi, mencapai sekitar 83 juta orang setiap tahunnya.

Jika tren ini berlanjut, diproyeksikan bahwa populasi global akan mencapai sekitar 8,6 miliar pada tahun 2030 dan 9,8 miliar pada tahun 2050. Peningkatan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk urbanisasi dan peningkatan pendapatan di negara-negara berkembang, yang juga memicu permintaan yang lebih tinggi akan produk peternakan, seperti yang disampaikan dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2017.

Meskipun terjadi pertumbuhan populasi global yang signifikan dalam 12 tahun terakhir, yang diproyeksikan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang, hal ini membawa implikasi serius terhadap permintaan produk peternakan. Peningkatan permintaan ini telah menyebabkan industri peternakan menggunakan energi secara besar-besaran dan menjadi penyumbang utama polusi serta kerusakan lingkungan.

Sebagai contoh, laporan "Climate Change And Cruelty: Revealing The True Impact Of Factory Farming" oleh World Animal Protection pada tahun 2022 memberikan gambaran yang mengejutkan tentang dampak negatif industri peternakan terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat (AS), Belanda, Brasil, dan China, produksi daging ayam dalam satu tahun di keempat negara tersebut setara dengan emisi 29 juta mobil yang beroperasi. Gas metana dari limbah hewan menjadi penyumbang utama emisi, mencapai 21% untuk produksi daging babi di Belanda, 22% di Amerika Serikat (AS), dan 24% di Brasil.

Tidak hanya itu, produksi tanaman untuk pakan ternak juga secara signifikan menguras stok air. Penggunaan lahan yang tidak efisien untuk pertanian pakan ternak merusak ekosistem, di mana 4 pohon ditebang untuk setiap 10 kg daging ayam yang dikonsumsi dan 5 pohon untuk setiap 10 kg daging babi.

Dampak dari emisi gas rumah kaca yang timbul dari sektor peternakan, sejalan dengan kebutuhan akan pangan, menghasilkan sebuah paradoks. Ini karena produksi emisi gas rumah kaca oleh peternakan, seperti metana dan dinitrogen oksida, memiliki dampak pemanasan global yang lebih besar daripada karbon dioksida.

Akibatnya, usaha untuk meningkatkan produksi pangan guna memenuhi kebutuhan ini berpotensi meningkatkan produksi metana yang lebih kuat. Metana, yang timbul dari proses fermentasi dalam pencernaan hewan serta pemecahan limbah, berdampak lebih besar terhadap pemanasan global, dan dapat memperdalam masalah krisis iklim global.

Selain energi, peran lahan sangat penting dalam menyebabkan emisi gas rumah kaca dari kegiatan peternakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Steinfeld, H., dan rekan (2006) yang berjudul "Livestock's Long Shadow: Environmental Issues and Options" dan diterbitkan oleh Food & Agriculture Organization (FAO), sektor peternakan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penggembalaan dan produksi pakan ternak, meliputi sekitar 30 persen dari total luas permukaan bumi yang tidak tertutup es.

Peternakan seringkali menjadi penyebab utama pencemaran lahan dengan melepaskan nutrisi, bahan organik, patogen, dan residu obat ke dalam perairan seperti sungai, danau, dan laut pesisir. Gas-gas yang dihasilkan oleh hewan dan limbahnya juga memberikan kontribusi pada perubahan iklim, terutama melalui modifikasi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan penggembalaan.

Pemanfaatan lahan sering kali memicu persaingan yang sengit antara individu atau kelompok untuk menguasai dan memanfaatkan lahan yang produktif. Fenomena ini sering disebut sebagai konflik horizontal, di mana terjadi persaingan langsung antara individu atau kelompok yang memiliki kepentingan yang sama dalam mengakses sumber daya alam tertentu, seperti lahan pertanian yang subur. Contoh konkret dari konflik horizontal dapat ditemukan di Darfur dan wilayah lain di Sudan.

Di sana, dampak dari perubahan iklim, seperti peningkatan suhu dan penurunan sumber daya air, telah menciptakan situasi yang sangat tidak stabil. Penurunan ketersediaan sumber daya alam ini memperburuk ketegangan antara petani dan penggembala karena keduanya bersaing untuk mendapatkan akses dan mengelola lahan pertanian serta sumber air yang semakin terbatas.

Akibatnya, persaingan untuk menguasai lahan produktif dan sumber daya air menjadi semakin ketat, yang pada gilirannya dapat memicu konflik horizontal yang lebih intens. Hal ini menunjukkan bagaimana pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan konflik dan memperburuk situasi sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.

Sehingga diperlukan langkah konkret untuk mengantisipasi potensi risiko di masa depan yang disebabkan oleh industri peternakan. Yang pertama adalah memperkenalkan inovasi dalam produksi pangan yang lebih ramah lingkungan.

Ini mencakup promosi pertanian berkelanjutan yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Praktik ini melibatkan penggunaan teknik organik, seperti pupuk alami dan rotasi tanaman, untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida dan pupuk kimia yang dapat merusak lingkungan.

Kedua, untuk menerapkan praktik peternakan yang lebih ramah lingkungan, dibutuhkan kebijakan yang mendukung. Langkah-langkah ini mencakup pengelolaan limbah yang lebih efektif, di mana limbah dari peternakan dapat diolah kembali menjadi pupuk organik atau sumber energi alternatif.

Selain itu, peningkatan efisiensi pakan ternak juga ditekankan, karena dapat mengurangi jejak karbon dari peternakan dengan mengurangi konsumsi sumber daya pakan yang dibutuhkan untuk setiap hewan ternak.

Ketiga, kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil merupakan elemen penting dalam mengembangkan solusi yang berkelanjutan secara sosial dan ekonomi. Melalui kolaborasi ini, berbagai pihak dapat saling bertukar pengetahuan, sumber daya, dan pengalaman untuk mengidentifikasi serta menerapkan praktik terbaik dalam pertanian dan peternakan yang ramah lingkungan.

Selain itu, dukungan dari sektor-sektor ini dapat memastikan bahwa solusi yang diusulkan tidak hanya bermanfaat secara lingkungan, tetapi juga dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan dapat dijalankan secara efisien dari segi ekonomi.

https://kumparan.com/baharuddin-yusuf-1696410365357776130/dilematis-peternakan-dampak-perubahan-iklim-22SwwM69UsL

What's your reaction?

Comments

https://www.hitabatak.com/assets/images/user-avatar-s.jpg

0 comment

Write the first comment for this!

Facebook Conversations