Sudah puluhan dokter di negeri ini meninggal oleh karena Covid 19. Salah satunya dokter jiwa sekaligus pakar seksologi Dr Naek L Tobing, SpKJ. Dr Naek dinyatakan meninggal dunia pada, pada Senin (6/4) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Karenanya, obituari ini saya tulis mengenang seputar perjuanganya membangun lembaga pendidikan, terutama rindunya untuk kemajuan pendidikan orang Batak, khusunya di Bekasi. Saya tak membahas lagi soal keahlianya, seksologi, karena sudah banyak dibahas di media sosial.
Walau hanya dokter, Naek tak pernah lupa jati dirinya menjadi garam dan terang, membuka jalan untuk pendidikan bagi ribuan karyawan-karyawati di Kota Bekasi, terutama untuk orang Batak. Kesadaran itu bisa jadi karena dia mengingat nenek moyangnya, Raja Pontas Lumban Tobing, raja yang pertama menyambut tawaran kemajuan dari Dr IL Nommensen, zending Jerman ketika datang ke lembah Silindung. Atas alasan pendidikan adalah sihir kemajuan, Naek mendirikan STIE Tri Bhakti di Kota Bekasi untuk menyihir perbaikan. Cita-cita sekolah besutannya ingin menjadi nomor wahid.
Pengetahuan saya tentang Tri Bakti terkait pengenalan dan perjumpaan dengan almarhum, dan selalu ingin kenal pesohor dan tokoh-tokoh Batak. Saya tak ingat persis barangkali puluhan kali jumpa, wawancara dengannya. Hasil wawancara pernah saya tulis di harian Batak Pos, majalah Narwastu Pembaharuan dan tabloid Reformata di mana saya pernah bergiat. Kami sering bertemu saat dirinya menjadi narasumber, termasuk di gereja-gereja, tak jarang juga ketemu di kantornya di dekat HKBP Kebayoran Baru, termasuk saat berwawansabda di kampus yang didirikannya.
Soal pendidikan baginya benar-benar solusi untuk tantangan menghadapi kehidupan. Pendidikan untuk bisa terimajinasi, dicerahkan. Dia menyebut, pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia yang paling purna lewat proses pendidikan; melalui upaya belajar-mengajar, belajar dan latihan.
Dr Naek ketika saya wawancara sering mengatakan, membicarakan pendidikan tak boleh lepas membicarakan manusia, demikian sebaliknya. “Kualitas pendidikan selalu dimulai dari sebuah sistim yang baik, guru yang berkualitas lalu dibarengi dengan proses pendidikan yang baik, akan tentu menghasilkan (murid) mahasiswa yang berkualitas pula,” kenang pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Bhakti (STIE Tri Bakti).
Lembaga pendidikan yang awalnya dibangun di ruko Sentra Niaga Kalimalang, dinaungi Yayasan Bina Bahagia. Berdiri, tanggal 7 Agustus 1996. Seminggu sebelum tanggal kelahirannya, 14 Agustus 1940. Naek dalam bahasa Batak diartikan dalam bahasa Indonesia, naik, dan memang sepertinya sekolah yang diniatkannya naik, terus naik.
Seiring waktu, dan juga tak lepas dari kemajuan Bekasi, STEI Tri Bhakti menjadi salah satu kampus pilihan di Kota Bekasi. Kini, mahasiswa-nya ratusan orang yang terbagai dalam bobot beberapa bidang studi. SI Manajemen, S1 Akutansi, D3 Manajemen dan D3 Akutansi. Tentu sekolah itu didirikan bukan sukuisme, tetapi nyatanya 50 persen dosennya orang Batak, mahasiswa pun sekitar 60 persen orang Batak. Dan sudah ribuan lulusan alumni dari sekolah STIE Tri Bhakti.
Saya pernah tanya, apa motivasinya mendirikan sekolah? Sebenarnya almarhum di awal ingin mendirikan sekolah SD sampai SMA, tetapi tak mendapai izin dari pemerintah daerah Bekasi waktu itu. Namun tak patah arang, malah kemudian mengajukan izin untuk sekolah tinggi. Sekolah tinggi dapat izin.
Untuk hal itu dia lama pertimbangkan, karena baginya waktu itu, kalau membangun sekolah kedokteran dananya besar, tak tanggung-tanggung. Selain itu fasilitasnya pun tak boleh main-main.
“Saya berpikir, yang terbaik adalah mendirikan sekolah tinggi ekonomi. Karena kalau banyak lulusan ekonomi yang baik pasti bisa mengatasi kesenjangan ekonomi,” ujarnya. Terbesit kenyataan waktu itu banyak orang Batak, terutama di Bekasi bekerja informal, di pabrik. Dia tak rela mereka hidup sampai tua demikian. Luar biasa perhatiaannya dan visinya untuk masa depan orang Batak. Karena itu kampusnya diprioritaskan malam untuk kelas pekerja yang ingin mendapat gelar sarjana ekonomi, akutansi dan manajemen.
Tahun 2013, waktu kami wawancara di kampusnya saat-saat persiapan menempatkan gedung baru, karena baru membangun gedung kampus yang lumayan mewah. Alasannya gedung lama sudah lama. Gedungnya sudah 15 tahun dipakai. Alasan itu pula ingin ada pembaharuan dan semangat baru di pengelola dan juga calon-calon mahasiswa makin bertambah. Katanya waktu itu: “Yang kita harus bangun gedung yang antik, yang tak ada duanya.”
Dr Naek juga berjiwa entrepreneur. Terbukti ide dan kemampuan wirausahanya untuk survival. Awalnya mendirikan sekolah di ruko hanya sewa. Berlahan terus meningkat hingga kemudian memiliki gedung tetap milik sendiri. Dari tiga ruko disatukan satu gedung. Saat membangun kampusnya dia membangun kampus besar bernama kampus masa depan di daerah Cut Mutiah, Bekasi. Untuk itu dia harus ke lalu lalang ke Eropa melihat gedung-gedung kampus terbaik. “Saya mau tiru kampus-kampus terbaik di Eropa,” ujarnya waktu itu.
Alasannya, setelah banyak studi banding, gedung untuk perkulihaan sangat lain di Indonesia, di sini gedung kampus persis seperti perkantoran. “Kalau di Amerika seluruh kampus-kampus itu bangunannya lain. Umumnya gedung terbuat dari batu bata, sementara di Eropa kampus banyak ditampilkan patung. Nah ini kita akan padukan, itu. Kita akan bangun gedung yang tahan 100 tahun,” ujarnya saat momen itu. Walau demikian dia tak hendak mengangung-agungkan gedung sebagai bukti lembaga pendidikan mumpuni. Tidak, dan bukan. Tetapi bagaimana kualitas dari sari pendidikan itu sendiri.
Soal daya juang, dirinya tak kalah kisahnya dengan tokoh-tokoh Batak lain, generasi-generasi perantau Batak yang hebat-hebat. Dia mengisahkan ke saya ketika dia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dulu dia belajar di gudang-gudang ketika anyar masuk USU. Namun dosennya hebat, dosen-dosennya banyak dari Eropa. Menurutnya, sekarang berbeda, anak-anak muda selalu mengira menyebut sekolah yang berkualitas itu identik dengan gedung yang bagus pula. Dia tak setuju. Walau dia sadari gedung memang perlu, tetapi bukan itu esensi dari pendidikan.
Sebelum menjadi dokter terkenal, rupanya dulu Naek adalah seorang guru. Kepada saya dia bercerita dia guru. Suka mengajar. Itu sebabnya kalau dirinya didengar menjelaskan soal seks mudah dipahami. dan ternyata sejak kuliah di USU almarhum aktif mengajar. “Saat itu ada sekolah Gereja Metodist di Medan. Guru-gurunya yang berasal dari luar negeri dipulangkan. Sambil kuliah sembari mengajar. Sejak dulu memang saya menikmati betul mengajar. Saya mengajar biologi, walau sebenarnya saya lebih suka mengajar mata pelajaran kimia,” ujarnya.
Jemaat GKPI Menteng, ini, juga saya tanya, mengapa terpincut mendirikan sekolah ekonomi, bukannya sekolah kesehatan, kalau demikian? “Saya mendirikan sekolah karena ada idealisme di sana. Saya dulu berpikir belum ada sekolah orang Batak yang bagus di Bekasi. Saya ingin orang Batak maju. Saya lihat orang Batak itu termasuk orang yang berambisi, punya semangat terhadap pendidikan, tetapi tak ada sekolah yang bagus punya orang Batak. Dasar itulah yang mendorong saya ingin mendirikan sekolah.”
Merintis dunia pendidikan memang sudah mendarah daging dalam diri keluarganya. Sebagaimana dijelaskan sekilas di atas, sejak kakek-buyutnya, Raja Pontas Tobing sudah menerima kemajuan dengan menerima Nommensen. (Pontas Tobinglah yang pertama raja yang menyambut Nommensen untuk di daerah Silindung). Bahwa pendidikan usai dirasakan benar pengaruhnya dalam membentuk ahlak yang baik daripada murid-muridnya.
Lalu saya tanya, alumninya sekarang bagaimana? “Sampai saat ini tamatan dari STIE Tri Bhakti sudah diserap di berbagai bidang pekerjaan. Nggak ada alumni dari sekolah kami menganggur. Semuanya bekerja. Kecuali ibu rumah tangga, kuliah untuk mengisi waktu luang,” ujarnya dengan bangga. Soal kelurusan hati itu saya sendiri merasakan dampak sekolahnya. Dua adik saya lulus dari sekolah yang didirikannya ini. Kedua adik saya, mereka mandiri, sambil kerja di pabrik sambil kuliah di STIE Tri Bhakti sampai lulus. Menurut Naek seluruh alumni sekolah ini berbagai peofesi, tersua yang bekerja menjadi akuntan, menjadi manajer, karyawan di bank, dan membuka usaha sendiri. Tak sedikit jadi pengusaha.
Sejak awal dia mendirikan STIE Tri Bhakti, niatnya agar kualitaslah menjadi tujuannya sejak awal. Baginya, pemberian gelar tanpa pernah kuliah itu racun. Dia tak akur dengan lembaga yang mengumbar hanya oleh gelar. Menurutnya memberi gelar tanpa proses belajar yang benar adalah adalah racun bagi pendidikan. Memang nyatanya banyak orang yang melakukan itu, membeli gelar tanpa proses pendidikan yang benar.
Seingat saya, almarhum juga pernah katakan kepada saya, tujuannya bukan untuk mengeruk uang mendirikan sekolah, tetapi semata-mata karena pengabdian. “Sampai saat ini saya belum pernah dapat uang dari sekolah ini yang ada malah saya membantu. “Saya terus mengeluarkan, mengeluarkan,” ujarnya terkekeh.
Yang dia lakukan hanya melayani bagaimana menjelmakan sekolahnya ini dikenal dengan kualitasnya kelak. “Kami membangun juga kampus yang mega murni dari kantong sendiri. Tak pernah minta donor atau bantuan pemerintah. Kami investasikan untuk membangun kampus ini. Biaya kuliahnya pun terjangkau.”
Dia rindu Tri Bakti bisa mendunia. Tentu untuk menjadikan global, lembaganya mesti punya standar, paling tidak bagi para dosen harus menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. “Mahasiswa kita tekankan mampu berbahasa Inggris, karena ke depan orang yang becus berbahasa Inggris cepat mendapat pekerjaan. Itu sebabnya di sekolah ini diajarkan bidang studi ini enam semester.
Pemikiran itu kita lihat, setiap perusahaan besar selalu punya jaringan dengan luar negeri. Artinya bahasa Inggris sekarang menjadi kebutuhan,” ujarnya. Di Bekasi sendiri pemerintah daerah mengakui kualitas yang telah ditorehkan STIE Tri Bhakti. Tak heran kampus ini telah menggondol akreditasi “B”.
STIE bukan hanya mendidik mahasiswa dari sisi akademis, tetapi juga ikut memberikan pembinaan moral. Lewat pandu mahasiswa, lewat persekutuan doa, terutama bagi mereka yang bergama Kristen. Di kampus ini juga giat Imakristi, ikatan mahasiswa Kristian STEI Tri Bhakti.
Sebagaimana lambang sekolah Tri Bhakti yang melambangkan staf, mahasiswa, dan dosen; ketiganya harus saling mengabdi, berbakti. Dengan sistem belajar yang tepat, tenaga pengajar berkualitas dan keunggulan-keunggulan lainnya, dan menjadikan sekolah ini sebagai ruang yang tepat merajut masa depan yang gemilang. Walau tak dipungkiri profesionalisme membangun sekolah bukan tanpa halangan. Banyak sekali tantangannya.
Kepada saya almarhum katakan waktu itu, bagaimana ke depan STIE Tri Bhakti bisa sama kualitasnya dengan kampus di luar negeri. “Itu obsesi kita ke depan. Menjadi the best, menjadi nomor wahid. Kita harus yakin bisa. Asal ada kerja keras, spirit dan integritas hal itu bisa terwujud. Bagi saya, satu cara terbaik melawan kemiskinan adalah dengan sekolah, dengan pendidikan.” Hanya dengan pendidikan mata dan hati seseorang terbuka, tercerahkan.
Penulis : Hojot Marluga merupakan Alumni STT Doulus Jakarta saat ini sebagai Editor di Penerbit Permata Aksara dan Motivator (Certified Theocentric Motivation)