Jakarta, Bona Pasogit Halak Batak

Ket.foto : Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saat di Ulosi salah satu komunitas Batak di Jakarta beberapa waktu yang lalu (Sumber : Republika)

Oleh : Hojot Marluga *)

Jakarta adalah kota plural, kota yang menjadi tumpuan harapan semua suku bangsa. Orang memimpikan sebuah kejayaan di kota ini. Tak heran. Karena, selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta adalah juga sentrum pembangunan: 75% manisnya uang dan bisnis bergulir di sini. Jakarta bak madu yang telah memikat semua jenis semut. Orang berbondong-bondong ke mari, termasuk orang Batak. Walau di sini tak ada ”Kampung Batak,” sebagaimana Kampung Bali, Kampung Makassar, atau Kampung Ambon.

Orang Batak berusaha dalam banyak bidang kehidupan, dari tambal ban sampai pemilik perusahaan asuransi raksasa, dari tukang stel peleg sampai pengusaha otomotif, dari pendeta sampai (tersangka) pelaku berbagai kejatahan. Mereka turut memutar roda perekonomian di Ibu Kota Republik ini. ”Peran orang Batak sangat banyak, dari yang menggusur dan yang kena gusur, juga orang Batak,” ujar Azas Tigor Nainggolan, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).

Tidaklah sulit untuk menemukan orang Batak. Di bus-bus kota logat mereka yang khas keras menyodok terdengar tajam ketika membujuk penumpang atau menurunkannya. Di pasar tradisional, mereka, paling banyak inang-inang, ngelayap menjajakan dagangan berupa ”uang.” Banyak yang jadi bidan. Tak kurang pula yang jadi dokter yang beken. Jakarta ibarat ”Bona Pasogit,” kampung halaman, yang baru bagi orang Batak. Tinggal tunggu waktu saja kapan akan lahir ”Kampung Batak,”atau ”Kampung Halak Kita”di salah satu sudut kota yang berpenduduk lebih 12 juta ini. Maaf, tidak ada data yang bisa diandalkan untuk menjawab kapan orang Batak mulai mendarat, menyebar, dan bergulat di Jakarta.

Ada yang menyebutkan tahun 1930-an. Mereka datang ke Batawi (nama populer Jakarta waktu itu) untuk tujuan yang luhur, bukan sekedar mengejar ”hépéng.” Mereka merantau ke kota ini untuk membantu perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang.

Urang Minang

Menurut Lance Castles, peneliti sejarah Batak asal Australia, orang-orang Batak pertama datang ke Jakarta pada tahun 1907. Pada tahun 1930 jumlah mereka baru 1.263 atau 0,07% dari total penduduk Jakarta ketika itu. Tahun 1950-an gelombang kedatangan mereka semakin membesar. Pada tahun 1961 mereka berjumlah 28.900 orang atau satu persen dari penduduk Jakarta.

Baca Juga  Refleksi Hari Kemerdekaan Indonesia : Perempuan Indonesia Harus Merdeka Dari Belengguh Kekerasan!

Menurut sesus penduduk tahun 2000, kelompok orang Batak sudah melebihi kelompok perantau etnis Minangkabau. Batak berjumlah 81.248 sementara urang Minang 71.702 orang. Persentase mereka naik menjadi 2,7% dari populasi Jakarta. Empat tahun kemudian angka ini merangkak menjadi 4%. Motivasi kedatangan mereka pada gelombang-gelombang berikut adalah etos yang mungkin membuat cemburu etnis lain: untuk melanjutkan pendidikan bagi anak-anak mereka.

Edward M Bruner, ahli antropologi dari Amerika Serikat, pernah melakukan studi tentang kecenderungan tujuan migrasi. Dia menyebutkan Jakarta, Bandung, dan Medan mendominasi tujuan migrasi orang Batak. Jakarta lebih menjanjikan daripada tempat-tempat bermukim yang lain, seperti Pekanbaru, Pontianak, Pekanbaru, Surabaya dan lain-lain.

Mengapa Jakarta? ”Karena di Tapanuli gulanya kurang,” ujar Firman Panjaitan, 77 tahun, mantan pejabat di Departemen Perhubungan. Firman, bisa disebut sebagai angkatan kedua gelombang kedatangan orang-orang Batak ke Jakarta yaitu tahun 1930-an.

Katanya, waktu itu kaum-kerabat Batak masih bisa dihitung dengan jari. Orang Batak yang merantau ke kota ini, katanya, menjalin hubungan persahabatan yang sangat akrab dengan kaum yang semarga maupun dengan mereka bermarga lain. Bahkan dengan orang-orang dari suku lain, karena merasa ”senasib sepenanggungan.” Terkadang perasaan senasib seperti itu lebih mempererat hubungan antar manusia dibandingkan dengan saudara sedarah sendiri.

”Bona Pasogit” atau kampung halaman yang membentang di sekitar Danau Toba dengan tanahnya yang gersang berbukit-bukit, di mana kemiskinan bersarang dengan tenteram telah membujuk penduduknya untuk mempertaruhkan peruntungan di negeri orang nun di kota-kota pesisir di Sumatera Timur, terutama Medan.

Malahan menyeberang ke Zawa, mengadu nasib di Jakarta. Mereka keluar meninggalkan daratan yang menurut merka tidak memberikan harapan itu dan dalam hitungan puluhan tahun jumlah mereka yang bermukim di luar daratan Tanah Batak lebih kecil daripada yang berada di perantauan yang tidak hanya sekedar Jakarta, malahan sudah menyebar ke berbagai pojok planet Bumi.

Mereka hidup di berbagai kota di Australia, dan kota-kota besar dunia seperti Hamburg, Wina, New York, dan Los Angeles. Logat mereka yang tajam terdengar dikumandangkan para penyiar Batak yang berkerja di BBC London, Deutche Welle, dan Voice of America.

Baca Juga  Di Indonesia Award 2019, Pemkab Samosir Raih Penghargaan

Babi bergulai darah

Mereka mengembara dari Tanah Batak. Tanah kembali ke tanah. Para pendatang awal tetap membawa hubungan mereka yang kental dengan tanah. Orang-orang Batak yang bermodalkan pendidikan yang boleh dikatakan minim merintis dunia baru dengan membuka tanah garapan di wilayah yang kemudian menjadi metropolitan. Tanah-tanah garapan di Jakarta (yang resmi maupun yang setengah resmi) kebanyakan dikuasaig orang Batak.

Sebutlah Pulo Mas, Kalimalang, Cengkareng, Dadap, Tanah Merah, Merunda, dan berbagai pojopk kota yang lain. Dan pesatnya pembangunan di Ibu Korta ini telah mengantarkan para penggarap tersebut menjadi orang-orang kaya, yang dalam bahasa Batak dikatakan namora. Status yang menjadi aspirasi yang bertapi-api di kalangan orang Batak.

Biasanya, di tanah garapan tadi, mereka yang berpembawaan sekeras batu gunung itu, berupaya persis seperti apa yang mereka kerjakan di kampung halaman: bertani dan marlapo (menjual tuak, terkadang plus sangsang, daging babi atau anjing yang bergulai darah).

Mereka yang nasibnya sudah mulai menanjak membentuk komunitas dalam satu lingkungan perumahanan, yang mereka sebut ”Parsauhutaon Dos Roha,” atau perhimpunan mereka yang senasib. Komunitas ini lebih militan Rukun Tetangga yang ada. Kumpulan semacam itu juga mereka bentuk supaya lebih berjaya di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Swiss, Korea, Filipina, Perancis, Belanda, Austria, Swedia, Denmark dan tempat-tempat lain di dunia ini. Tentu, nama perhimpunan itu, buat penduduk lokal, terdengar sangat asing, mungkin mirip pekik gagak yang sedang terbang.

Sejauh-jauh mereka terbang, adat Batak tak pernah mereka lupakan. Ini tercermin dalam umpasa atau ungkapan, “Arga do bona ni pinasa di angka nabisuk marroha,” yang berarti tinggi nilai kampung halaman bagi orang yang bijaksana. Di kampung halaman, pertemuan-pertemuan, apakah itu berkaitan dengan kemalangan atau pernikahan, diselenggarakan di rumah-rumah sederhana, yang bertiang dengan atap disaput ijuk. Di Jakarta suana berubah menjadi gedung-gedung bertingkat dengan lantai yang bisa membuat horbo yang serdang berlari tergelincir.

Baca Juga  Masyarakat Tionghoa dan PT Medan Sugar Berikan Bantuan Tangani Dampak Covid-19 di Sumut

Sementara kapasitas mereka untuk hidup berbaur dengan penduduk setempat atau etnis lain juga tinggi. Tak jauh dari umpasa yang berbunyi: “Jonok partubu, jonokan parhundul”– Akrab saudara semarga masih lebih akrab saudara sepersahabatan.

Bagaimanapun, kunci pembuka hidup yang sukses secara material adalah kerja keras. Dan orang-orang Batak, sebagaimana daratan Tanah Batak yang berbatu, siap untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan. Untuk bisa menanjak, mereka merayap dari bawah. Itulah yang ditempuh mereka yang telah berjaya, seperti Tarnama Sinambela, pengusaha sukses, yang memulai upayanya dari usaha kontruksi kecil-kecilan. Usahanya kini berkembang menyadi perusahaan konstruksi dan pabrik pengelohan aspal yang makmur.

Juga Mangaraja Hutagalung dengan group Arion. Ada KM Sinaga dengan group Bumi Asih. DL Sitorus yang mengepalai kelompok usaha Torganda, dan banyak lagi.

Apakah masih ada tersisa lapangan kerja yang menjanjikan sebagaimana yang telah dinikmati gelombang migrasi Batak pertama ke Jakarta? Mungkin masih ada. Hanya saja belum terlihat, belum tergarap. Yang jelas gula yang diperebutkan di Ibu Kota Republik ini sudah tidak semanis madu lagi, welaupun belum sepenuhnya berubah menjadi tuba. Kenyataan menunjukkan lapangan hidup yang pahit, juga getir. Para pendatang, dalam gelombang migrasi Batak terakhir, harus meniti jalan yang sulit. Tak kurang dari mereka yang harus menerima nasib sebagai kernet, pengamen, dan pengasong, juga pencopet untuk survive, sekedar untuk hidup, asa mangolu.

*Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga) adalah seorang jurnalis, dulu menjadi redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan buku-buku memoar; otobiografi dan biografi.


hitabatak.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya serta event atau kegiatan yang perlu dipublikasikan. Tulisan hendaknya orisinal dan disertai dengan foto serta data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 600-1.500 karakter. Tulisan dapat dikirim ke redaksi [email protected] atau ke nomor 0822-7623-2237. Horas!

 

Share