Belajar secara Daring, Siswi di Taput ini Martonun Ulos untuk Membeli HP

Tapanuli Utara Pasca Indonesia positif terinveksi wabah pandemi Covid-19, sejumlah sekoklah di Indonesia diliburkan termasuk di Tapanuli Utara. Sekolah dari tatap muka secara langsung di Sekolah beralih menjadi belajar mandiri dan secara daring. Hal tersebut dilakukan dalam upaya mencegah penyebaran covid-19 dan menghindari claster penularan baru dari sekolah.

Namun nampaknya proses belajar secara daring menimbulkan persoalan baru secara khusus bagi pelajar yang tidak memiliki gadget seperti laptop dan smartphone.

Adalah Yohana Kasih Panggabean seorang siswi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP N 1 Tarutung dikarenakan tidak memiliki gadget membuat Yohana harus bergegas menuju rumah kakak sepupunya yang tak jauh dari rumahnya di Dusun Banuarea, Desa Hutapea Banuarea, Kecamatan Tarutung untuk meminjam smartphone sang kakak sepupu demi belajar online setiap hari jam 08.00-10.00 WIB. Kasih hanya perlu menyediakan kuota.

“Tiap hari pigi lah dia jam 08.00 ke tempat kakak sepupunya, anaknya itokku, yang punya HP yang bisa internet, tinggal beli paketlah dia, terus pulanglah dia jam 10.00 Habis itu dikerjakannya tugas dan PR nya, baru bantu bantu aku martonun di rumah,” ujar Ibu Kasih Boru Situmorang.

Belajar secara daring membuat smartphone menjadi sebuah kebutuhan pokok untuk pelajar. Kasih pun berharap dia segera bisa memilikinya. Membantu ibunya martonun (bertenun) adalah caranya untuk mewujudkan impiannya.

“Aku udah nabung sikit-sikit kak untuk beli HP, dan selama belajar dari rumah aku jadi punya banyak waktu untuk belajar martonun dari mamak, sekarang aku udah bisa martonun sendiri, nanti hasil tonunku dikumpul-kumpulkan untuk beli HP,” ujar Kasih.

Sebelum pandemi, Kasih sudah sering memperhatikan ibunya menenun Ulos, tapi belum mencoba untuk ikut bertenun. Tapi karena keperluan untuk membeli HP, Kasih memilih untuk ikut bertenun ulos.

Baca Juga  Sumut terima bantuan APD dari PT Bank J Trust Indonesia

“Dulu dia cuman memperhatikan aku kerja, tapi karena dia mau beli HP, dia minta supaya dibikin partonunannya sendiri, ini sudah bisa dia martonun meskipun harus nunggu sebulan baru siap satu ulosnya,” kata Ibu Kasih.

Boru Tumorang mengaku penghasilannya sebagai penenun juga menurun di masa pandemi, hanya cukup untuk membeli kebutuhan rumah dan membeli kuota belajar anaknya. Belum cukup untuk membeli smartphone untuk anaknya.

“Kalau dulu bisa laku satu set tenun, sarung sama selendangnya Rp 1.5 juta, kalo sekarang jatuh kali harganya, bisa laku cuman Rp 750 ribu aja. Padahal itu harus potong benang lagi sama tokke Rp 150 ribu, bikinnya juga lama, paling cepat dua minggu kalo aku, itulah kubagi-bagi ke dapur, ke gereja, beli paket. Untung Bapaknya punya sawah, jadi tidak perlu beli beras lagi,” tambah Ibu Kasih.

Salah seorang tauke tenun ulos di Pasar Tarutung, Herbi Boru Nainggolan mengaku harga tenun ulos memang sangat jauh menurun dimasa pandemi, hal ini disebabkan karena pengurangan pesta dan karena imbauan pemerintah agar masyarakat ibadah dari rumah.

“Covid ini bikin banyak kali orang yang kembali menenun, karena tidak bisa kemana mana kan, tapi masalah nya kita para tokke ini tidak tahu menggeser kemana, pesta nikah tidak bisa, terus gereja pun sempat tidak buka, turun kali lah harganya, seratus persen turun,” ujar Herbi.

Sumber : Tagar.id
Editor    : Yedija M

Share