BATAK : Banyak Taktik

Sudah sering dengar Batak akronim banyak taktik, “Banyak Otak.” Bisa saja bagi sebagian orang Batak ini stereotip negatif, tetapi bagi saya ini hal positif. Orang-orang Batak disebut banyak taktik tentu ada benarnya. Tak usah diragukan lagi. Anak-anak Batak itu umumnya memang ligat membranding diri, pandai bicara apalagi ngeles, itu sebabnya banyak pengacara. Rata profesi di dunia hukum, hakim, jaksa, polisi dan pengacara tak sedikit orang Batak ke sohor di sana. Sebenarnya di berbagai bidang termasuk media juga banyak yang hebat-hebat Batak hebat.

Soal publikasi atau dampak pemberitaan, sejak dulu sudah disadari orang Batak pengaruhnya. Saya paling tidak pernah mendapat dua cerita langsung, wawancara dari dua tokoh Batak, TB Silalahi dan alm Prof Midian Sirait. Bagaimana mereka di masa muda membranding diri dengan publikasi media yang di kemudian hari mereka itu bukan saja dikenal di media, tetapi di bidang lain. Di media mereka awal-awalnya membangun kecakapan berkomunikasi, melatih keberanian untuk kemudian merobohkan tembok pehalang untuk mengenal para tokoh. Hal itu semua dilalui lewat media.

Ini kisah TB Silalahi di masa muda ke saya langsung ketika saya menulis biografi Ir Humuntar Lumban Gaol. Salah satu yang diminta Humuntar untuk saya wawancara teman masa mudanya, TB Silalahi. Di masanya, SMA Negeri Soposurung Balige merupakan salah satu SMA Negeri terbaik di Indonesia di masa itu. Pada saat SMA Negeri Balige didirikan pada tahun 1950, rakyat Balige-lah yang mendirikannya dengan bergotong-royong, yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.

Di sekolah itu TB Silalahi punya “geng” dan dianggap anak-anak terpintar dan teladan, salah satunya Ir Humuntar Lumban Gaol. Selain Humuntar dan dia, ada lagi Pangasian Simanjuntak, yang dikemudian hari menjadi pengusaha di bidang kontruksi tol dengan merek JHS. Satu lagi namanya Hotman Pardede. Ketiganya, Humuntar, Pangasian dan Hotman pintar-pintar menurut TB Silalahi, sedangkan dirinya tak pintar-pintar amat.

Baca Juga  Mengenang Dr Naek L Tobing: “Saya Ingin Orang Batak Makin Maju”

Di usia sebelia itu, mereka sudah mampu membuat buletin “Gelombang” menjadi buletin pertama di SMA Negeri Soposurung pada tahun 1956. Mereka membuat tim, Hotman Pardede sebagai pemimpin redaksi, TB Silalahi menjadi redaktur yang mengisi tulisan terutama cerpen, cerita pendek. Selain itu, dia bertugas menjadi ilustrator, penyusun naskah, dan mengisi buletin itu dengan lagu-lagu populer masa itu. Terbitan perdana buletin, rubrik lagu “Innamorata” Dean Martin yang populer masa itu, tetapi mendapat teguran keras dari guru oleh karena lirik lagunya ada, “kiss me, kiss me quick.”

Humuntar sendiri sebagai pengelola usahanya, menjalankan bisnis, merangkap sebagai manager marketing media Gelombang. Penjualannya kepada masyarakat mulai dari toko-toko di pasar Balige, pengusaha-pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat. Lagi, pengakuan TB Silalahi, Humuntar mendekati teman-teman perempuan di sekolah yang agak cantik-cantik untuk menjadi marketing sales girl. Sudah tentu buletin itu laku karena rayuan cewek-cewek itu. Selain dijual di sekolah, lalu ke lapo kopi dan tuak tempat bapak-bapak nongkrong.

Demikian juga kisah Professor Midian Sirait ke saya, pengalamannya mendirikan media bersama kawan-kawannya. Professor yang pernah mendirikan partai PDKB ini memulai karier dari paling bawah sekali, awal kemerdekan Indonesia, tahun 1945, Midian memulai kariernya sebagai ahli pertukangan kayu setelah menamatkan Gikogako (Ambacht School di Sibolga). Diawal kemerdekaan Midian juga turut memikul senjata, tergabung dalam Barisan Pemuda di Porsea mengangkat senjata melawan penjajah. Setelah Indonesia merdeka, Midian mangarato atau merantau ke Jakarta. Sebelum menjadi asisten apoteker di Manggarai. Di Manggarai Midian bersama teman-temannya membuat majalah bernama Ganesha.

Ganesha adalah lambang ilmu pengetahuan dewa pengetahuan. Majalah tersebut didirikan tiga orang; Midian, Justin alias Karel “Mikamon.” Midian mengurus usaha. Untuk mencari iklan, Midian harus rela berjalan kaki, dari Guntur Jakarta Selatan ke Glodok Jakarta Barat, tetapi akhirnya majalah ini tutup. Ini kisah menarik. Rasa-rasannya sebelia itu mereka sudah menyadari dampak dari media. Taktik membuat media untuk bisa ke mana-mana. Tentu banyak kisah yang lain, orang-orang Batak mendirikan media. Siap lagi yang menceritakan! Berharap ada kisah-kisah yang lain.

Baca Juga  Dalam Sensus Penduduk 2020 Sebutan Batak Mandailing diganti hanya Mandailing saja

*Penulis : Hojot Marluga adalah seorang jurnalis, dulu menjadi redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan buku-buku memoar; otobiografi dan biografi.


hitabatak.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya serta event atau kegiatan yang perlu dipublikasikan. Tulisan hendaknya orisinal dan disertai dengan foto serta data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 600-1.500 karakter. Tulisan dapat dikirim ke redaksi [email protected] atau ke nomor 0822-7623-2237. Horas!

Share