Bentuk dari Suhi Ampang Naopat hanya dasarnya saja yang persegi empat, di tengah ramping dan di atas (kelilingnya) berbentuk bulat→seperti cawan, Cuma bedanya Ampang yang dimaksud dasarnya harus empat persegi. Maksud dan tujuan para nenek moyang jaman dahulu membuat ini tidak lain dari empat pengetua (4 unsur keluarga) bersatu padu atau membulatkan satu kesepakatan dalam satu adat/tradisi Batak.
Ampang ini biasa dipakai untuk tempat nasi, buah, tempat membawa hasil dari sawah/ladang, bisa juga dipakai oleh ibu-ibu untuk tempat belanja ke Pasar atau tempat kain cucian kain kalau mau ke danau ataupun ke sungai. Konon paling sering dipakai untuk tempat membawa tulang belulang para raja kalau mangokkal holi.
Simbolik dari Suhi Ampang Naopat itu adalah talian/ikatan kekerabatan dalam satu horja/ulaon/pesta adat Batak. Salah satu perwakilan atau utusan dari 4 oknum/unsur kekerabatan/keluarga harus ikut serta, jika tidak maka suhi ampang naopat tidak berjalan sebagai mana mestinya. Tapi hal itu jarang terjadi karena pihak keluarga-kerabat harus menggenapinya biar terjadi satu Acara Adat.
Keluarga Utama.
Dalam mengawali sebuah pesta adat maka hubungan kekerabatan terkecil sudah harus berkumpul untuk membicarakannya. Dalam pembicaraan ini dan harus hadir 4 unsur kekeluargaan terdekat yaitu:
1. Suhut Sihabolonan.→ Yang akan melaksanakan hajatan.
2. Namarhahamaranggi.→ Kakak beradik kandung dari yang akan melaksanakan hajatan.
3. Saboltok. →Kakak beradik dari tingkat bapak atau kakek yang akan melaksanakan hajatan.
4. Boru. →Marga yang mengambil pihak perempuan dari yang akan melaksanakan hajatan Boru.
Dalam bentuk permusyawarahan yang terawal ini sudah terkandung prinsip Dalihan Natolu yang terbatas pada kekerabatan yang disebut marhula-marboru, walaupun belum sepenuhnya semua unsur Dalihan Natolu diterapkan. Empat unsur di atas sudah sah untuk memulai sebuah perhelatan/pesta adat.
Keluarga Besar.
Sudah kita uraikan untuk musyawarah terkecil pada poin di atas berwujud menjadi pesta adat (perhelatan) yang akan melibatkan hubungan kekeluargaan yang lebih besar. Dalam hal ini sudah belaku penuh falsafah Suhi Ampang Naopat dan Dalihan Natolu ada di dalamnya.
1. Hula-hula.→ Yang melaksanakan hajatan memberitahukan (Sungkem) kepada pihak marga dari istri yang melaksanakan sebuah perhelatan agar mendukung pelaksanaan perhelatan yang akan dilaksanakan itu.
2. Dongan Tubu.→ Semua saudara semarga terutama yang paling dekat hubungan kekeluarganya sudah harus diikut sertakan dalam pelaksanaan sebuah hajatan.
3. Boru. → Semua marga terdekat yang telah memperistri saudara perempuan dari yang melaksanakan hajatan.
4. Raja/Raja Huta/ Ale-ale. → Menjadi satu kelompok yang diikutsertakan dalam pelaksanaan sebuah hajatan. Raja pada jaman dahulu disebut juga sebagai Bius atau Raja Bius ataupun juga Tunggani Huta, mereka ikut berperan untuk memberikan masukan untuk hal-hal yang baik yang akan dilaksanakan dalam sebuah perhelatan. Sementara Raja Huta yang hanya ada dalam satu kampung juga diikutkan dan sekarang ini yang lazimnya berlaku di daerah perantauan dimana masyarakatnya tidak lagi homogen tetapi masih berhubungan erat dalam bentuk kekerabatan. Dan Ale-ale biasanya sebagai tempat curhat untuk mendukung semangat baik secara moral maupun material untuk mendukung pelaksanaan sebuah hajatan.