Di batin orangtua Batak meresap ungkapan filosofi “Anakhonhi Do Hamoraon Di Ahu.” Ungkapan itu tinggi dalam kehidupan orang Batak, bahkan dianggap filosofis yang tinggi. Secara umum orang Batak masih terus menghidupi ungkapan “anakhonhi do hamoraon di ahu.” Artinya, anakkulah kekayaanku. Ini falsafah hidup yang menjadi pedoman dan pegangan hidup orang Batak.
Sikap dalam filsafat ini melambangkan sikap hidup orang Batak menjunjung anak adalah mahkotanya. Filosofi dalam kebudayaan Batak yang telah berabad-abad terus tersemai, dan barangkali ini juga mungkin salah satu nilai gengsi dari orang Batak itu sendiri, benar-benar menjunjung tinggi kehormatan diri dari anaknya. Bahkan, sudah menjadi tradisi dalam budaya Batak, anak yang berhasil, orangtuanya akan menjadi panutan bagi masyarakat.
Alih-alih “anakhonhi hi do hamora on di au” adalah anak harta yang paling berharga. Adalah Nahum Situmorang menggubah menjadi begitu dikenal. Sesungguhnya jauh sebelum dibuat syair lagu filosofi ini sudah menyemat dalam taradisi orang Batak, sebuah lagu dengan judul tersebut.
Dalam lagu itu diceritakan perjuangan orangtua untuk menyekolahkan anaknya sampai berhasil. Dengan kerja kerasnya, berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga sampai ke taraf pendidikan tinggi.
Kemiskinan tak boleh menyurutkan semangat orangtua menyekolahkan anaknya hingga lulus sarjana. Ada kebanggaan bagi orangtua, jangan sampai anaknya sama seperti dirinya, harus lebih tinggi. Jika orangtua berprofesi petani lusuh, tetapi berjuang menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus perguruan tinggi agar lebih taraf kelak hidupnya. Disinilah anak Batak harus menyambut kerinduan orangtuanya, menjadikan dirinya lebih hebat dari orangtua. Intinya, orangtua berkorban demi anak.
Tentu, lagu Nahum makin menginspirasi masyarakat Batak untuk menyekolahkan anaknya semaksimal dirinya bisa, bahkan ada beberapa cerita lebih dari kemampuannya orangtua menyekolahkan anaknya. Maka tak mengherankan orangtua, ayah dan ibunda, yang sehari-hari berjuang untuk menghidupi keluarga, tetapi lebih dari itu berjuang untuk pendidikan. Ini tentu ada oleh perasaan, kodrat dan naluriahnya mengasihi anak-anaknya. Dimulai dari cinta kasih orangtua, namun sepantasnya berbalas kasih anak terhadap orangtunya dengan menghargai jasa mereka.
Dengan naluri cinta dan kasih ini, orangtua dengan anak, terjadi hubungan batin yang erat. Orangtua mudah mendidik dan mengasihi anak dengan perasaan cinta, sebab anak juga tahu dan sensitif oleh rasa melihat perjuangan orangtuanya. Naluri ini merupakan tabiat yang dibawa manusia Batak. Jadi, hubungan orangtua dengan anaknya, sebaliknya kecintaan anak kepada orang tuanya. Ini dinamis berjalan. Dinamika filsafat ini mendorong setiap orang Batak menghendaki anak adalah mahkotanya. Hamoraan artinya kekayaan, atau berkat Tuhan yang tak bisa dinilai dari sekedar uang.
Jadi, anak adalah sebuah kekayaan yang luar biasa bagi orang Batak. “Anakhonhi do hamoraon di ahu.” Maka kebahagiaan orangtua adalah keberhasilan anak. Itu sebab ungkapan ini menekankan betapa berharga dan sayangnya orangtua terhadap anak. Biasanya para orangtua bekerja keras, berkorban demi anaknya, dan demi pertumbuhan, kemajuan terutama demi pendidikan anaknya.
Lagi-lagi bagi orang Batak, tak memiliki harta benda atau jabatan merupakan utama tetapi memiliki anak. Anak anugerah Tuhan itu dianggap kekayaan. Maka tentu, jika sudah punya anak, memicu ambisi mencari materi, menjadi antusias, memacu semangat orangtua bekerja keras demi anak. Sebab anak tak saja aset yang mesti harus dijaga dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Tetapi demi harta paling berharga bernama anak, hadirlah di setiap tawa, tangis dan sejuta rasa dalam hatinya, sehingga bila kelak anak telah tumbuh besar dan mandiri bisa membawa kehormatan baginya. Itu sebabnya, orangtua Batak sejati rela tak jadi apa-apa, tak punya apa-apa, asal anaknya jadi manusia yang terdidik. Semampunya memperjuangkan pendidikannya.
Hanya saja, sekarang ini di kota pada umumnya orangtua Batak yang muda tak terlalu lagi meresapi panggilan menjadikan anak sebagai mahkota. Yang ada orangtua muda sibuk mencari materi, sampai-sampai lupa mengasuh batin buah hatinya itu di masa pertumbuhan dan berkembang anaknya, sebab kedua pasangan suami istri sibuk mencari uang alasan demi anak, tetapi melupakan pembentukan pondasi mental. Katanya, demi anak. Padahal sesungguhnya mengasuh karakter anak yang pertama. Malah pengasuhan diberi tanggung jawab kepada baby sister, dampaknya banyak anak-anak Batak tak terdidik saking berambisi oleh materi demi anaknya.
Padahal, bukti orangtua menjadikan anak jadi mahkota sesungguhnya dengan tanggung-jawab mengasuh anak sebagai bagian hidup sehari-hari mereka. Sekali lagi, tak ada aset yang paling bernilai bagi orangtua (ayah dan ibu) selain anaknya. Berapa pun besarnya harta materi seseorang, nilai seorang anak. Inti ungkapan Batak ini sesungguhnya anak adalah jembatan anugerah, menerima berkatNya. Anak adalah harta yang tak ternilai oleh apapun. Anak adalah titipan paling indah yang diberikan Tuhan kepada orangtua.
*Penulis : Hojot Marluga adalah seorang jurnalis, dulu menjadi redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan buku-buku memoar; otobiografi dan biografi.
hitabatak.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya serta event atau kegiatan yang perlu dipublikasikan. Tulisan hendaknya orisinal dan disertai dengan foto serta data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 600-1.500 karakter. Tulisan dapat dikirim ke redaksi [email protected] atau ke nomor 0822-7623-2237. Horas!